REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali menggugat ketentuan larangan calon tunggal yang diatur dalam UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi.
"Hak memilih warga negara yang tinggal di daerah dengan pasangan calon tunggal jelas dirugikan," kata Effendi saat sidang perdana pengujian UU Pilkada di MK Jakarta, Rabu (19/8).
Effendi menilai aturan larangan calon tunggal tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Dia mengungkapkan jika hanya calon tunggal Pilkada akan diundur hingga 2017, maka warga negara akan mengalami kerugian konstitusional karena kepala daerahnya hanya pelaksana tugas (Plt) yang tidak bisa mengambil kebijakan strategis, sehingga akan memperlambat pembangunan.
Effendi mengungkapkan tejadinya calon tunggal ini disebabkan karena adanya petahana atau "rising star" (pendatang baru) yang kuat dan sulit dikalahkan, sehingga tidak ada yang maju lagi karena akan buang-buang uang saja.
"Tapi ada indikasi juga partai politik tunda pilkada agar calon itu popularitasnya turun," ucap Effendi.
Untuk itu, Effendi dan Yayan Sakti Suryandaru (Pemohon II) yang terdaftar sebagai pemohon nomor 100/PUU-XIII/2015 ini, mengusulkan calon tunggal dihadapkan pada kolom (bumbung) kosong agar membuktikan bahwa calon memang dipilih oleh rakyat atau hanya pencitraan.
Effendi dan Yayan meminta MK Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU Pilkada bertentanga dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan larangan calon tunggal ini juga digugat oleh pemohon Nomor 95/PUU-XIII/2015 (Aprizaldi, Andri Siswanto, Alex Andreas, dkk) dan pemohon Nomor 96/PUU-XIII/2015 (Whisnu Sakti Buana dan H Syaifuddin Zuhri).