REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski pemerintah segera menyiapkan materi revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang akan mengakomodasi aturan untuk calon tunggal, namun salah satu materi yang sempat menjadi perdebatan yakni sanksi bagi partai politik yang tidak mengusung calon dalam Pilkada sulit untuk dimasukkan.
Hal itu yang diungkapkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Soni Sumarsono terkait materi yang akan dimasukkan dalam revisi UU Pilkada.
"Poinnya paling sulit sanksi karena yang menyusun DPR. Sedangkan DPR kan parpol, sanksi untuk diri sendiri nggak mudah," ujar Sumarsono di Jakarta, Jumat (14/8).
Menurutnya, memang pemerintah tidak berkewenangan dalam memberikan sanksi ke parpol yang tidak mengusung calon. Karena, parpol juga memiliki hak untuk mengajukan pasangan calon, meskipun keberadaan parpol dalam Pemilu merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
"Itu harus dibicarakan, sebagai pemerintah memang tidak layak memberikan sanksi kepada parpol. Kita konsisten serahkan kepada rakyat untuk menilai, ketika jelek jangan dipilih," ujarnya.
Namun, adanya calon tunggal yang membuat pelaksanaan Pilkada di daerah tersebut ditunda, adalah sebagai salah satu akibat dari tidak adanya pasangan calon yang diajukan oleh parpol. Sehingga, ia menilai tetap diperlukan aturan agar dapat mencegah munculnya calon tunggal tersebut.
"Sanksi penting diatur tapi kita membangun pemahaman bersama dengan DPR," ujarnya.
Oleh karena itu, bentuk pemahaman bersama mengenai aturan dari pengajuan paslon oleh Parpol akan diatur sedemikian rupa dengan DPR.
"Tapi kalau itu disepakati dengan DPR sebagai aturan main baru misalnya tidak boleh ikut pilkada berikutnya, kita boleh melemparkan ide itu. Tapi kan perlu persetujuan dulu," ungkapnya.