REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan agar pasal penghinaan presiden masuk dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai pro dan kontra.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD mengatakan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sangat dilematis.
"Di satu sisi pasal itu mengancam demokrasi sehingga dibatalkan oleh MK, sisi lain martabat presiden harus dilindungi," tulis Mahfud akun Twitter pribadinya, @mohmanfudmd.
Sebelumnya Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD pun bersuara terkait pasal penghinaan tersebut. "Kritik dan menghina itu memang beda jauh dalam rasa, tapi beda tipis dan sulit ketika dirumuskan dalam kalimat hukum," tulisnya.
Mahfud menambahkan pasal 263 dan 264 dalam RUU KUHP yang baru telah menimbulkan komplikasi yuridis dan bisa mengancam demokrasi dan hak-hak konstitusional setiap orang. Komplikasi yang dimaksud adalah substansi pasal tersebut sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK padahal menurut pasal 24C (1) UUD, putusan MK adalah final.
Pasal-pasal penghinaan tersebut mengancam demokras dan hak-hak konstitusional setiap orang karena sulit merumuskan kriteria antara mengritik dan menghina. Jika dilihat, lanjutnya, mengritik dan menghina memang beda jauh, tapi saat akan dirumuskan dalam kalimat hukum menjadi sangat sulit.
"Sebenarnya RUU KUHAP yang diributkan ini sudah diajukan oleh pemerintahan SBY pada Maret 2013. Waktu itu sudah diributkan, tapi terhenti," ujarnya.
Mahfud menyetujui orang yang menghina presiden dan wakil presiden harus dihukum. Negara harus menghukum orang yang menggambarkan presiden sebagai hewan yang bodoh.
"Negara harus menghukum orang yang mencerca Presiden dengan sarkastis atau menggambarkan di depan umum Presiden sedang berbuat asusila," jelasnya.
"Soalnya: bagaimana membuat rumusan dalam pasal-pasal aturan hukum agar tak bisa digunakan secara "karet" untuk memberangus demokrasi & HAM. Kita harus beradab: membangun demokrasi & konstitusi yang sehat tapi tak boleh membiarkan penghinaan pada Presiden. Ini yang harus dirumuskan," tegas Mahfud.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah menginginkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) setelah sebelumnya pasal penghinaan terhadap presiden telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam.
Presiden Joko Widodo mengaku pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali semata untuk melindungi para pengkritiknya dari pasal pasal karet. Bukan sebagai bentuk antikritik.
Jokowi, secara peribadi, mengaku tak memerlukan pasal yang sudah digugurkan MK itu. Lagi pula ia sudah terbiasa dihina sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjabat kepala negara.