Selasa 04 Aug 2015 21:31 WIB

Jimly: Menghidupkan Pasal Penghinaan Presiden tak Masuk Akal

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Teguh Firmansyah
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie.
Foto: Antara
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie tak setuju dengan usulan pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden.

Jimly menilai, menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dengan dalih presiden adalah lembaga negara tak masuk akal. "Lambang itu sudah diatur sendiri pada pasal 36. Lambang negara kan Garuda. Jadi itu teori feodal yang mengggap presiden lambang negara," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut, Selasa (4/8).

Menurut Jimly, banyak ahli hukum yang larut dengan teori teknis hukum pidana. Dalam teori teknis yang populer di abad 17 tersebut disebutkan bahwa presiden adalah lambang negara. Namun, menurutnya, teori itu sudah tak berlaku di era saat ini.

Jimly kemudian menceritakan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal penghinaan pada presiden pada 2006 lalu mendapat pujian dari Dewan HAM PBB. Indonesia dinilai telah membuat dua langkah lebih maju dari banyak negara lain, termasuk Belanda, Belgia dan Swedia.

Sebab, di negara-negara tersebut pasal penghinaan presiden masih ada sekalipun pada prakteknya tidak lagi digunakan. Dulu, ucap Jimly, warga di Eropa yang tidak membungkuk saat melihat foto presiden atau raja bisa dikenakan pasal penghinaan. Namun, saat ini dalam hampir semua aksi unjuk rasa warga kerap membakar dan menginjak foto presiden. Kendati demikian, presiden tidak merasa terhina.

"Tingkat peradaban berdemokrasi seperti itu, sehingga pasal penghinaan kepala negara itu meski masih ada tidak pernah dipakai lagi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement