Selasa 04 Aug 2015 15:02 WIB

MOS Dinilai Bentuk Pelegalan Kekerasan

Masuk Pertama Sekolah: Siswa kelas 10 Sekolah Menengah Atas Negeri SMAN) 70 mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) di Aula SMAN 70, Jakarta, Senin (27/7).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Masuk Pertama Sekolah: Siswa kelas 10 Sekolah Menengah Atas Negeri SMAN) 70 mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) di Aula SMAN 70, Jakarta, Senin (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengenalan sekolah kepada siswa baru dinilai perlu diperbaiki secara radikal. Tujuannya untuk memutus mata rantai kekerasan yang mengatasnamakan masa orientasi siswa (MOS).

Menurut Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, untuk memutus mata rantai kekerasan dalam kegiatan MOS, perlu dilakukan upaya yang luar biasa. Salah satunya bisa dimulai dengan penghapusan istilah MOS, kemudian dirumuskan model pengenalan sekolah terhadap siswa baru yang lebih ramah anak.

"Istilah MOS, MOPDB dan sebagainya secara psikologis masih menjadi penghubung bagi pelegalan beberapa oknum untuk melakukan kekerasan baik karena faktor senioritas, dendam sejarah maupun kekerasan yang memang sudah menjadi kultur," tuturnya, Selasa (4/8).

Susanto mengatakan, pengenalan proses belajar, lingkungan dan program sekolah perlu dirumuskan kembali agar dapat menjadi wahana konstruktif untuk membentuk jati diri siswa baru menjadi 'pembelajar', bukan menjadi momentum 'pewaris' budaya kekerasan.

"Bila ini dibiarkan, kita akan kehilangan generasi berkualitas karena sekolah sejatinya adalah laboratorium nilai. Jangan sampai sekolah berubah menjadi laboratorium yang tidak disadari 'men-sahih-kan' kekerasan," katanya.

Terkait meninggalnya siswa SMP Flora Bekasi Evan Christopher Situmorang yang diduga sakit akibat salah satu kegiatan MOS, Susanto mengatakan KPAI, KPAI Bekasi dan kepolisian sedang mendalami kasus tersebut.

"Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita segera bisa menyampaikan duduk masalahnya, apakah ada keterkaitan atau tidak," ujarnya.

Namun di luar kasus tersebut, Susanto mengatakan MOS memang perlu diformulasi ulang. Menurut dia, perlu ada MOS yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, bukan melanggengkan budaya kekerasan.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement