REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti menyatakan, SMA Taruna perlu dievaluasi secara menyeluruh karena menerapkan sistem pendidikan bergaya militer. Terlebih, sekolah tersebut cukup diminati di seluruh Indonesia.
Retno mengatakan, evaluasi ini sangat mendesak karena ada siswa baru yang meninggal dunia saat masa orientasi siswa (MOS) di SMA Taruna Palembang. Sementara itu,, seorang siswa lainnya sakit akibat dugaan penganiayaan.
"Setelah meninjau ke sekolahnya, kami mendorong evaluasi total terutama pada audit keuangan sekolah, proses belajar mengajar, serta sarana dan prasarana sekolah," kata Retno setelah mengunjungi korban WJ yang masih tak sadarkan diri di Rumah Sakit Charitas Palembang, Rabu.
Retno mengatakan, ia sudah mendatangi sekolah yang mengasramakan siswanya ini. Ia mendapati ruang kelas tanpa jendela yang mirip penjara, tenaga militer yang diberdayakan, dan tenaga pengajar yang kurang memadai.
Selain itu, biaya pendidikan juga dinilai cukup mahal karena siswa baru diwajibkan membayar uang pangkal sekitar Rp 22 juta dan biaya per semester sampai Rp 2,5 juta rupiah. Untuk itu, ia menekankan perlunya audit keuangan sekolah dan evaluasi pemberian izin mengingat izin sekolah akan habis pada Oktober tahun ini.
Retno juga menyesalkan sekolah berasrama ini terkesan kurang pengawasan dari Dinas Pendidikan setempat. SMA Taruna Palembang mengadakan long march sejauh 13 km yang menjadi pemicu kejadian meninggalnya seorang siswa saat MOS pada Sabtu (13/7).
KPAI berharap agar penyidikan kepolisian juga bisa mengungkap hal lain. Sejauh ini, polisi sudah menetapkan seorang tersangka.
"Bisa jadi ada anak lain yang mengalami hal serupa, tapi tidak bicara," kata dia.
KPAI akan mengeluarkan rekomendasi atas peninjauan dan investigasi secara langsung ini. Nantinya, rekomendasi itu akan diberikan ke Pemerintah Provinsi Sumsel dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Presiden. Salah satu rekomendasinya ialah pendampingan psikologis bagi orangtua siswa yang menjadi korban oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Provinsi.