REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah dinilai tidak memiliki kontestasi. Pemilihan kepala daerah harusnya mengusung nilai-nilai demokrasi yang mensyaratkan adanya partisipasi.
"Demokrai tidak cukup hanya dengan memilih satu calon. Ini artinya tidak ada kontestasi atau kompetisi," kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro kepada ROL, Senin (3/8).
Kompetisi harus hadir dalam pemilihan calon kepala daerah. Kompetisi di sini bukan dalam artian negatif, melainkan bagimana mengekspektasikan pasangan calon berdasarkan prasyrat yang ada, sehingga memenuhi kapastitas menjadi pimpinan daerah. "Itu menjadi filter dalam memilih pemimpin yang terbaik," ucapnya.
Sayangnya, hal ini tidak pernah sampai ke tengah masyarakat tingkat daerah. Yang ada, kata Siti, hanya perebutan kekuasaan dan biasanya dimenangi oleh mereka yang kuat, bukan selalu mereka yang terbaik.
Pembelajaran tersebut tidak pernah menjadi cara pandang sehingga yang ada dalam benak partai politik hanyalah kemenangan. "99 persen tujuan mereka adalah harus menang," kata dia.
Substansi demokrasi yang seharusnya ikut dijalankan dalam pilkada terasa kurang. "Jika calonnya hanya satu, itu sama saja aklamasi seperti partai memilih kepengurusannya. Apa bedanya dengan pemilihan lewat DPRD," ujar Siti.
Ia mengajak seluruh pihak terkait agar tidak lompat-lompat dalam menggunakan logika. Menurutnya, hanya Partai Amanat Nasional (PAN) yang memilih kontestasi dalam hal sebenarnya. Misalnya saja saat pemilihan calon ketua umum. Ketika ada selisih enam suara antara Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan, ini berarti ada kematangan politik di dalamnya. "Kalau ini terbangun, maka tidak perlu ada konflik, kerusuhan, dan semacamnya," kata Siti.