Sabtu 27 Jun 2015 10:32 WIB

Penulis yang Sukses adalah Pembaca yang Rakus

Irwan Kelana
Foto:

utuh waktu tiga tahun bagi John Grisham untuk menulis novel pertamanya, Deathknell, yang di kemudian hari diganti judulnya menjadi A Time To Kill. Karya tersebut mulanya ditolak oleh 16 agen dan selusin penerbit.  Setahun kemudian baru ada kabar dari penerbit  Wynwood Press bahwa buku tersebut akan diterbitkan.

‘’Wynwood  mencetak 5.000  eksemplar dan menerbitkannya pada bulan Juni 1989. Buku itu terjual baik dalam radius 100 mil di sekitar rumah, tapi di luar itu tak ada yang menghiraukan. Tidak ada kontrak penerbitan dalam bentuk paperback, tidak ada penerbitan di luar negeri. Namun  ini novel pertama, dan kebanyakan novel pertama tak ada yang menghiraukan. Yang lebih baik sudah menunggu di depan.

Saya menyelesaikan The Firm (novel kedua, red) pada tahun 1989, dan mengirimkannya kepada Jay (agen John Grisham, red). Doubleday/Dell membelinya, dan ketika diterbitkan dalam bentuk hardcover , karier kepenulisan saya mengalami perubahan dramatis. Keberhasilan The Firm membangkitkan minat baru pada A Time To Kill.’’

Begitulah pengakuan novelis asal Amerika Serikat yang sangat kondang sebagai penulis novel di bidang hokum itu. Buku-bukunya, antara lain A Time To Kill, The Firm, Pelican Brief, The Chamber, The Rain Maker, The Client, The Runaway Jury, The Partner, danA Painted House telah terjual puluhan juta kopi yang menempatkannya sebagai novelis terlaris pemecah rekor.  A Time To Kill bertahan selama 84 minggu di daftar bestseller. Edisi hardcover buku tersebut (cetakan pertama, tahun 1989) bernilai jutaan rupiah per eksemplar.

Begitulah seringkali nasib novel perdana. Nasib novel perdana biasanya tidak langsung sukses. Hal itu dialami oleh banyak penulis, tak terkecuali Habiburrahman El-Shirazy.

 

Sebelum menulis Ayat-ayat Cinta, ia telah menerbitkan sejumlah buku, antara lain Ketika Cinta Berbuah Surga dan Pudarnya Pesona Cleopatra. Tanggapan pembaca biasa-biasa saja.

Ketika AAC terbit sebagai cerita bersambung di harian Republika, lalu diterbitkan dalam bentuk novel, karya tersebut langsung meledak. Menjual AAC seperti menjual kacang goring. ‘’Mula-mula kami mencetak Ayat-ayat Cinta lima ribu eksemplar, lalu sepuluh ribu eksemplar, kini sekali cetak 20 ribu eksemplar. Begitu dicetak hanya dalam waktu dua minggu langsung habis. Agen dan took buku berebut minta jatah,’’ kata Manajer Penerbitan Penerbit Republika Awod Said.

Popularitas dan sukses AAC mendongkrak penjualan karya-karya Habiburrahman sebelumnya, seperti Ketika Cinta Berbuah Surga dan Pudarnya Pesona Cleopatra. Berkahnya juga menembus novel-novel Habiburrahman yang ditulis setelah AAC,  seperti Ketika Cinta Bertasbih I dan II, Dalam Mihrab Cinta, dan Di Atas Sajadah Cinta. Dalam berbagai acara bedah buku dan temu penulis, para penggemar Habiburrahman selalu menanyakan dan menunggu karya-karya berikutnya. Misalnya, setelah Ketika Cinta Bertasbih I terbit, mereka langsung menanyakan, ‘’Kapan Ketika Cinta Bertasbih  IIterbit? Kami penasaran ingin segera tahu kelanjutan cerita tersebut.’’

Begitulah, seorang yang ingin menjadi penulis miliarder jangan pernah mudah putus asa ketika karya pertamanya tidak langsung sukses. Itu biasa saja. Teruslah berkarya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, insya Allah sukses segera tiba!***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement