Sabtu 27 Jun 2015 10:32 WIB

Penulis yang Sukses adalah Pembaca yang Rakus

Irwan Kelana
Foto:

Pentingnya membaca juga ditegaskan oleh salah seorang penulis papan atas Indonesia, Gola Gong. ‘’Seorang penulis harus rajin membaca. Itu merupakan modal penting baginya,’’ tandasnya.

“Membaca! Membaca! Membaca! Menulis! Menulis! Menulis!” Itulah nasehat penulis wanita papan atas Indonesia: Asma Nadia! Sejumlah novelnya disetronkan dan difilmkan, antara lain Emak Ingin Naik Haji, Catatan Hati Seorang Istri, dan Sakinah Bersamamu.

Rajin membaca itulah yang membuat Prof Dr Buya HAMKA berhasil menjadi salah satu ulama sekaligus sastrawan Indonesia yang berhasil menulis lebih 115 judul buku dalam berbagai bidang, sehingga digelari ulama berkaliber Asia Tenggara. Padahal, penulis karya-karya  masterpiece, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bahserta buku Tasauf Modern itu hanya menguasai bahasa Arab, ia tidak menguasai bahasa Inggris. Beliau belajar berbagai hal, termasuk filsafat Yunani dari terjemahan buku-buku tersebut dalam bahasa Arab..

Keluasan wawasan dan pengetahuan Buya HAMKA, yang terutama diperoleh dari rajin membaca itu tercermin dalam karya utama dan terbesarnya, yakni Tafsir Al-Azhar (30 Juz). Sampai-sampai ia mendapat apresiasi dari Prof Dr James Rush, guru besar sejarah pada Universitas Yale, Amerika Serikat: ‘’Studi dan tulisan Hamka tentang kepercayaan dan pengetahuannya yang mendalam tercermin sercara dramatis  dalam keberhasilannya menyusun Tafsir yang lengkap. Dan, untuk masyarakat Indonesia yang sedang berkembang ia merupakan tiang penyangga. Ia mengharap agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Islam, masyarakat yang aman, damai dan moderen di Bawah Lindungan Ka’bah.’’

Habiburrahman, yang oleh budayawan Prie GS digelari ‘HAMKA kecil’ pun sangat rajin membaca. Bahkan, dia adalah seorang pembaca yang rakus. Pertama, membaca dan menghapal kitab-kitab yang menjadi rujukan utama kuliahnya. ‘’Kuliah di Mesir itu kita harus hapal DEFINISI secara tepat, tidak boleh ada kesalahan. Jadi, harus persis seperti yang ditulis oleh para ulama dalam buku-buku tersebut. Sebab, kalau ada kesalahan atau perbedaan huruf, baris atau kata, maka artinya bisa berbeda. Kalau bicara penjelasannya, baru boleh dengan bahasa kita sendiri. Karena itu, kita harus sungguh-sungguh menghapal DEFINISI maupun membaca berbagai uraian dalam kitab-kitab rujukan tersebut,’’ tegas Habiburrahman.

Selain buku-buku rujukan, Habiburrahman juga sangat rajin membaca berbagai buku lainnya. Kalau kita baca bagian belakang novel AAC, di situ kita akan menemukan keterangan mengenai ‘’Kitab-kitab yang Mendampingi Penulisan Novel Ini’’. Di sana tertulis 10 kitab, semuanya berbahasa Arab, yang berbicara antara lain mengenai sunnah dan  bid’ah, peringatan (tadzkirah), ruh, kenapa Barat takut pada Islam, posisi wanita dalam Islam, serta pernikahan dalam Islam (hlm 405-406).

Hal itu mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi dari Dr  Hadi Susanto, doctor Twentie Universiteit, Belanda, saat memberikan prolog terhadap buku ini:

‘’Tidak main-main, sebagai novel pembangun jiwa, novel ini ditulis dengan menggunakan sepuluh referensi. Bahkan ‘hanya’ untuk menuliskan adegan bertemunya Fahri dengan sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud, dalam mimpi, penulis perlu mendasarkan  ceritanya pada Kitab Ar-Ruuh karya Ibu Qayyim Al-Jauziyah.’’ (hlm 12)

Dengan bacaannya yang sangat luas mengenai kitab-kitab Islam itu, tak heran kalau Habiburrahman bisa menjelaskan dengan baik berbagai isu keislaman seperti yang ditanyakan oleh Alicia kepada Fahri. Misalnya, benarkah Islam menyuruh seorang suami memukul istrinya dan  istri yang nusyuz (hlm 96-101), berbagai pertanyaan tentang perempuan, poligami (hlm 151-153),  bagaimanakah Islam memperlakukan non-Muslim (hlm 153-154), serta  apa yang sebenarnya terjadi  antara umat Islam dan umat Kristen Koptik di Mesir (hlm 156-158).

Ia juga bisa menjelaskan dengan sangat baik ajaran Islam mengenai pentingnya menghormati tamu, menjaga hak-hak orang dzimmah (non-Muslim), akhlak seorang laki-laki Muslim terhadap wanita Muslimah maupun bukan, pesan Rasul agar umatnya senang saling memberi hadiah, serta keindahan rumah tangga yang dibangun atas dasar iman dan amal saleh.

Wawasannya yang luas itu pula yang memungkinkan Habiburrahman bisa menjelaskan secara bijaksana perihal pemakaian cadar bagi Muslimah di Indonesia:

‘’Lalu aku mengutarakan masalah cadar yang dipakai Aisha. Bukan aku tidak setuju atau menentangnya. Tapi untuk fiqih dakwah  di Indonesia lebih hikmah tidak pakai cadar. Aku jelaskan kondisi masyarakat di desaku dan sekitarnya. Perempuan bercadar  akan dianggap sangat aneh dan mencurigakan.’’ (hlm 218)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement