REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) memiliki relasi yang kuat dengan dana aspirasi yang juga diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peneliti Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai, revisi UU menjadi cara menghindari hukum jika korupsi dana aspirasi dilakukan.
Erwin berpendapat, kedua wacana yang dibahas bersamaan itu berkaitan erat. Dana aspirasi berpeluang besar dikorupsi. Ditambah dengan pembatasan kewenangan lewat pembahasan revisi UU KPK yang menjadi bagian dari upaya DPR keluar dari jerat hukum.
"Revisi tersebut dijadikan upaya keluar dari jeratan hukum jika nanti menyalahgunakan dana aspirasi yang berpotensi dikorupsi. Sangat erat hubungan dan implikasinya," katanya kepada ROL, Jumat (26/6).
Padahal, jelasnya, UU KPK tidak seharusnya direvisi saat ini. Namun, kesan yang tergambar adalah terburu-burunya lembaga legislatif yang ingin menggolkan perubahan aturan KPK. Ini menunjukkan betapa DPR ingin melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Dua wacana anggota DPR kini tengah menjadi sorotan. Pasalnya, dua usulan itu menuai banyak kritik. Di satu sisi revisi UU KPK menjadi ajang pelemahan lembaga yang didirikan sejak 2003 itu.
Di lain hal dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar bagi masing-masing anggota justru besar peluang disalahgunakan. Terlebih melihat kinerja DPR yang banyak dinilai buruk.