REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU --- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meminta Presiden Joko Widodo membebaskan sebanyak 116 orang warga masyarakat adat yang dipenjara karena mempertahankan tanah leluhur mereka.
"Kami meminta Presiden membebaskan warga masyarakat adat yang ditahan karena mereka korban kriminalisasi, termasuk empat warga adat Semende, Bengkulu," kata Ketua Pengurus AMAN Bengkulu Deff Tri Hamri di Bengkulu, Jumat (26/6).
Deff yang turut dalam pertemuan antara Pengurus Besar AMAN dengan Presiden Joko Widodo di Istana Presiden pada Kamis (25/6) menyebutkan bahwa warga adat korban kriminalisasi menjadi salah satu fokus pembahasan.
Warga adat Semende di Kabupaten Kaur, Bengkulu, kata dia, menjadi korban kriminalisasi karena mempertahankan tanah leluhur mereka di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Selain empat warga adat Semende itu, Sekjen AMAN Abdon Nababan saat pertemuan dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya juga meminta Presiden membebaskan 112 orang warga adat lainnya di seluruh Indonesia yang ditahan karena mempertahankan hak ulayat mereka.
"Pada pertemuan itu Presiden berjanji akan membebaskan 116 orang masyarakat adat itu, termasuk empat warga adat Semende dan kami menunggu realisasinya," tambahnya. Presiden Jokowi, kata Deff, juga meminta data dan informasi terkait masyarakat adat di Nusantara, termasuk empat warga adat Semende Bengkulu yang saat ini harus mendekam di penjara.
Pada April 2014, Pengadilan Negeri Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu menjatuhkan vonis tiga tahun penjara atas empat warga komunitas masyarakat adat Semende Dusun Lamo Bandingagung dengan tuduhan merambah hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Padahal, menurut warga adat itu, para leluhur mereka sudah mendiami kawasan itu bahkan sebelum Indonesia menjadi negara, atau jauh sebelum penetapan kawasan taman nasional yang dibuktikan dengan sejumlah dokumen tua yang masih dimiliki warga adat tersebut.
Atas vonis itu, keempat warga yakni Midi Bin Matsani, Rahmad Bin H Budiman, Suraji Bin Kaeran dan Heri Tindieyan Bin Yaslan menyatakan banding namun ditolak MA.