REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul menilai salah satu alasan didesaknya Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk direvisi, terutama soal kewenangan penyadapan, adalah karna adanya ketakutan dari para koruptor. Karna dengan kewenangan penyadapan KPK, lanjutnya, para koruptor akan merasa dipantau oleh lembaga tersebut.
Ia menerangkan, penyadapan, secara hukum, memang melanggar hak asasi dan privasi seseorang. "Tapi memang banyak orang menilai, keinginan untuk merubah (revisi UU) bukan karna alasan hak asasi atau privasi. Alasannya supaya dia (koruptor) tidak dimonitor melakukan kejahatan atau korupsi," ucap Chudry pada Republika, Kamis (25/6).
Namun di sisi lain, dia berpendapat, kewenangan penyadapan memang layak diawasi agar tidak ada penyalahgunaan wewenang di dalamnya. "Terutama orang yang bertugas untuk menyadap. Dia harus punya moral yang tinggi. Dia hanya menyadap orang yang memang dicurigai melakukan korupsi," jelasnya.
Pengawasan penyadapan ini, lanjutnya, agar KPK terhindar dari tindak pelanggaran HAM. Karna penegakkan hukum, kata Chudry, tidak bisa dilakukan dengan cara melanggar hukum pula.
Sebelumnya, Revisi UU KPK tengah menjadi polemik. Meski Presiden Jokowi menyatakan tak setuju dengan usulan itu, DPR tetap bersikukuh ingin merevisi UU KPK karena usulan itu dikatakan dari pemerintah sendiri.