REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengaku, masih banyak penghulu yang melakukan pungutan liar (pungli) untuk mencari keuntungan pribadi. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah (PP) 48 Nomor 2014 tentang Biaya Pernikahan, penghulu tak diperbolehkan menerima apapun dari pihak yang menikah.
Bahkan, menurut Lukman, ada oknum penghulu yang secara terang-terangan meminta kepada masyarakat. "Penghulu tidak hanya menerima tapi meminta, ada oknum seperti itu," kata Lukman dalam keterangan resmi di gedung KPK, Kamis (25/6).
Menurutnya, masih terjadinya gratifikasi kepada penghulu lantaran konsekuensinya menikahkan di luar KUA dan di luar jam kantor. Penghulu harus membayar biaya transportasi dan hal lain. Pencairan uang transportasi untuk penghulu yang terlambat, kata dia, sepertinya membuka peluang munculnya gratifikasi.
Di sisi lain, kata dia, praktik itu juga tak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakat yang 'gemar' memberi uang kepada penghulu. Kebiasaan itu, menurutnya, merupakan pola pikir lama yang harus dihilangkan. Lukman meminta agar masyarakat tidak memberi imbalan apapun kepada penghulu. Sebab hal itu masuk dalam kategori gratifikasi.
Putra mantan menteri Agama Saifuddin Zuhri ini menambahkan, banyak juga perkembangan di lapangan setelah pelaksanaan PP Nomor 48 Tahun 2014 tentang Biaya Nikah. Meski masih ada, oknum penghulu yang melakukan pungli nikah bisa semakin dikurangi. "Tapi memang jujur di lapangan, ada hal-hal yang tidak semestinya terjadi," ujar dia.
Tarif nikah memang sempat menjadi polemik sekitar akhir tahun 2013. Saat itu, KPK melakukan kajian terkait honor penghulu. Banyaknya penghulu yang menerima amplop dan dinilai sebagai bentuk gratifikasi adalah terbatasnya dana operasional KUA.
Pemerintah kemudian menerbitkan PP Nomor 48 tahun 2014 tentang biaya Nikah Rujuk. Di PP itu diatur, nikah atau rujuk di KUA pada hari dan jam kerja dikenakan tarif Rp 0. Sementara nikah di luar KUA dan atau di luar jam kerja dikenakan tarif Rp 600 ribu.