REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, menyarankan agar DPR tidak memaksakan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang lebih dikenal dengan dana aspirasi. Jika dipaksakan, para anggota DPR justru berpeluang dijatuhi pidana.
“Sebaiknya, pembahasan dana aspirasi dihentikan. Dana aspirasi ditiadakan saja. Jika dana ini dipaksakan ada, justru bisa berujung pidana bagi para anggota DPR,” kata Margarito, Ahad (21/6).
Sebab, lanjut dia, pemberian dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar kepada anggota DPR pasti menimbulkan celah penyimpangan. Dana aspirasi berisiko tidak tepat sasaran dan justru hanya dinikmati oleh sejumlah golongan tertentu.
“Siapa yang bisa menjamin para anggota DPR tidak akan melakukan penyimpangan? Bagaimana cara mereka mengelola dana ini nantinya? Wacana yang dilemparkan DPR ini sudah menyimpang dari koridor hukum penggunaan keuangan negara,” katanya menegaskan.
Menurut Margarito, DPR tidak memiliki kewenangan sebagai pengguna keuangan negara. “Dalam sejarah parlemen, tidak ada penyalahgunaan wewenang seperti yang saat ini diwacanakan oleh DPR. DPR harus benar-benar menyadari risiko penerimaan dana aspirasi bagi masing-masing individu,” tambahnya.
DPR akan merumuskan hak baru penggunaan anggaran senilai Rp 20 miliar untuk 560 anggota dewan per tahun. Anggaran yang rencananya masuk dalam APBN 2016 ini bertujuan memenuhi aspirasi pembangunan sesuai permintaan masyarakat di masing-masing daerah pemilihan (dapil).
Usulan tersebut mendapat penolakan oleh banyak anggota dewan. Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) dan Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura) menegaskan penolakan usulan itu. Namun, mayoritas fraksi sepakat dengan usulan tersebut.