Kamis 11 Jun 2015 18:38 WIB

PDIP: Dana Aspirasi DPR Rawan Korupsi dan Kolusi

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Politisi PDIP, Effendi Simbolon
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Politisi PDIP, Effendi Simbolon

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI, Effendy Simbolon menilai dana aspirasi anggota dewan, atau dana usulan program pengembangan daerah pemilihan (UP2DP) dinilai rawan akan praktik korupsi dan kolusi.

Effendy menegaskan seharusnya apapun istilahnya, anggota dewan tak boleh melakukan pengelolaan anggaran. Apalagi sampai melakukan penguasaan anggaran. Sebab, hak untuk pengelolaan dan kuasa anggaran bukan diranah legislatif, melainkan tugas eksekutif.

"Saya dari dulu menolak hal-hal yang seperti ini. Dana aspirasi apaan? Yang seperti inilah yang selalu jadi bahan bancaan para anggota dewan," tegasnya, Kamis (11/6).

Menurutnya, usulan tersebut membuka peluang, proyek-proyek palsu para legislator di daerah-daerah yang tak pernah terawasi. Effendy melanjutkan, benar jika dikatakan aspirasi konstituen di daerah pemilihan (dapil) masing-masing anggota dewan kurang diprioritaskan oleh pemerintah.

Namun, kata dia, kondisi tersebut tak serta merta menyeret fungsi anggota dewan sebagai eksekutor dalam penggunaan anggaran. Justru sebaliknya, dikatakan dia, kondisi tersebut perlu memberi penajaman bagi anggota dewan untuk melakukan fungsi pengawasan peruntukan anggaran di daerah-daerah.

Sebelumnya, DPR dan Pemerintah setuju untuk merealisasikan dan UP2DP dalam RAPBN 2016. Ketua Tim Penyusunan UP2DP, Taufik Kurniawan mengatakan, besaran dana tersebut untuk masing-masing anggota dewan berjumlah antara Rp 15 sampai 20 miliar. Berarti jumlahnya, berkisar Rp 11 triliun untuk 560 anggota DPR.

Diterangkan Wakil Ketua DPR itu, sebenarnya UP2DP ialah program usulan anggota dewan untuk memotong birokrasi pembangunan sarana dan prasarana di dapil masing-masing anggota dewan. Sebab, selama ini, birokrasi pemerintah terlalu panjang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.

Selama ini, diterangkan dia, setiap usul dari masyrakat, khususnya di daerah-daerah sulit tertampung. Sebab, birokrasi pembangunan harus melewati rencana pembangunan setahun sekali, (musrenbang) dari tingkat kabupaten dan kota, sampai provinsi, untuk selanjutnya dibahas tingkat nasional.

Cara tersebut menurut Taufik, tak efektif dan terlalu panjang. Pun, kata dia, Musrenbang tak mampu mengikutsertakan kebutuhan masyarakat pada tingkat paling bawah. Sementara, kata dia, setiap anggota dewan, punya tanggung jawab untuk melakukan reses (turun ke lapangan) sedikitnya lima kali dalam setahun.

Masa reses tersebut, dikatakan Taufik, dimaksud untuk menampung kebutuhan masyarakat yang tak tertampung dalam musrenbang. Untuk selanjutnya, kata dia, dibawa ke Pariipurna DPR, untuk segera disampaikan kepada pemerintah, agar ditindak lanjuti segera.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement