REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Johanes Tuba Helan menilai dana aspirasi yang diajukan dalam RAPBN 2016 melanggar konstitusi. Hal itu karena DPR bukan badan yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengelola anggaran.
"Menurut hemat saya, alokasi Rp20 miliar untuk setiap anggota DPR itu melanggar konstitusi, karena DPR tidak memiliki kewenangan untuk mengelola anggaran," ujarnya, Kamis (11/6).
Ia mengatakan peran dan fungsi dewan adalah melakukan pengawasan, dan kontrol terhadap pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Artinya, meskipun dana aspirasi tersebut sudah diakomodasi dalam UU 17 Tahun 2014 tentang MD3, tetapi secara hukum tetap tidak dibenarkan.
"Kalau mengunakan acuan MD3, menurut saya terlalu umum karena tidak mengatur teknis pengelolaan anggaran oleh anggota parlemen kita," ujarnya.
Johanes menambahkan, kalaupun dana aspirasi dititipkan pada Kementerian atau lembaga lainnya, tetapi tetap akan menimbulkan kerancuan dalam proses pengawasan dan pelaksaan program di lapangan.
Menurutnya, kementerian atau lembaga terkait tidak mungkin diberi tugas, dan tanggung jawab untuk melakukan pengawasan secara efektif di lapangan, karena harus berkonsentrasi pada program di kementerian atau lembaga masing-masing.
"Kementerian pasti akan berkonsentrasi menjalankan program-program yang diluncurkannya, karena ada penilaian kinerja dari presiden. Jadi tidak mungkin kementerian turun mengawasi programnya DPR," tegasnya.
Karena itu, sebaiknya DPR mempertimbangkan kembali dana aspirasi yang sudah diusulkan dalam RAPBN 2016, jika tidak ingin terseret dalam permasalahan hukum dikemudian hari.