Senin 01 Jun 2015 20:25 WIB

'Yance Bebas, Hakim Main Mata atau Jaksa tak Maksimal'

Rep: C26/ Red: Djibril Muhammad
  Mantan Bupati Indramayu, Irianto MS Syafiuddin alias Yance, usai mengikuti sidang putusan terkait dugaan korupsi proyek pembangunan PLTU Sumur Adem, di Pengadilan Tipikor, Kota Bandung  Senin (1/6). (foto : Septianjar Muharam)
Mantan Bupati Indramayu, Irianto MS Syafiuddin alias Yance, usai mengikuti sidang putusan terkait dugaan korupsi proyek pembangunan PLTU Sumur Adem, di Pengadilan Tipikor, Kota Bandung Senin (1/6). (foto : Septianjar Muharam)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan vonis bebas kepada terdakwa dugaan korupsi pembebasan lahan proyek pembangunan PLTU yang dilakukan mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin atau Yance menjadi perhatian. Banyak spekulasi apakah hakim 'main mata' atau jaksa penuntut umum yang tidak kuat mempertahankan argumen.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul mengatakan jika memang vonis tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya maka ada kecurangan yang dilakukan hakim.

"Kemungkinannya ya dua, jaksa kurang bisa mempertahankan bukti atau hakim ada main mata. Ini yang harus ditelusuri," kata Chudry kepada ROL, Senin (1/6).

Namun, ia mengimbau publik agar tidak sembarang berspekulasi. Tidak bisa seorang terdakwa yang kemudian bebas menjadi salah hakim yang bermain di baliknya. Walaupun tentu hal tersebut tidak tertutup kemungkinannya.

Ia menambahkan jika hakim tidak terlibat apapun, maka bisa saja jaksa tidak maksimal karena kurang bisa mempertahankan argumen dalam tuntutannya. Hanya saja semua kembali kepada data-data yang menjadi rujukkan apakah memang Yance terbukti bersalah. Jika ada kekeliruan dalam vonis maka celakalah hukum Indonesia.

Menurutnya, ini masih vonis tingkat pertama sementara jaksa kembali mengajukan kasasi sehingga belum bisa dibilang yang benar dan salah.

Yance divonis jauh dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 1,5 tahun dan denda 200 juta subsider enam bulan kurungan.

Hakim menilai dakwaan primer terhadap terdakwa yakni pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor

31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1 KHU Pidana, tidak terbukti.

Begitupun dengan dakwaan subsidair untuk terdakwa, yakni Pasal 3 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juga tidak terbukti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement