Jumat 29 May 2015 00:09 WIB

Siapa Bilang PKL Meresahkan

Rep: C11/ Red: Julkifli Marbun
PKL
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
PKL

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran para Pedagang Kaki Lima (PKL) liar Jakarta seringkali menjadi tampilan yang paling meresahkan bagi pemerintah provinsi (Pemprov) DKI. Dengan gerobak dorong, tempat jualan berjinjing, maupun bersepeda, para PKL masih marak berkeliaran di sepanjang jalur pedestrian Ibu Kota.

Jakarta sebagai Ibu kota Negara ingin selalu berbenah diri menjadi kota impian. Seperti kata Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, Jakarta akan menjadi kota baru yang berjuluk ‘smart city’. Dengan bersanding sebagai kota pintar, Jakarta diharapkan tak tampak sebagai kota kumuh dengan menyimpan para PKL yang duduk manis menjajakan barang dagangan.

Jakarta ingin dibangun bak kota metropolitan seperti negeri-negeri tetangga Singapura dan Malaysia. Transportasi canggih, wajah kota yang elok, beserta hiasan gedung pencakar langit di sekelilingnya. Kehadiran para PKL Lah, yang turut dianggap sebagai benalu menuju kota pintar.

Sebagai cara untuk mematikan usaha para PKL, Pemprov DKI mencantumkan larangan berjualan   dengan menyematkan papan hijau  setinggi dua meter di beberapa jalan-jalan besar Jakarta. Di bawah Dinas Pertamanan dan pemakaman provinsi DKI Jakarta papan berlatar hijau dengan isi tulisan dilarang berdagang, parkir liar, dan membuat pangkalan ojek di kawasan ini menjadi peringatan bagi para pencari nafkah.

Larangan tersebut nampak terpajang di salah satu jalur larangan, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 8 tahun 2007. Dalam Perda tersebut untuk mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang tertib, tenteram, nyaman, bersih dan indah diperlukan adanya pengaturan di bidang ketertiban umum yang mampu melindungi warga dan prasarana kota beserta kelengkapannya.

Setiap paginya PKL di Jalan Kebon Sirih dan Jalan Merdeka Selatan memang belum banyak bekeliaran. Beberapa pedagang mengaku ada kesepakatan baru semenjak beberapa tahun lalu, sehingga para PKL baru bisa berjualan di atas jam 12 siang.

Akan tetapi tak semuanya baru mulai berdagang pada siang hari, seperti di depan Sekolah Dasar Kebon Sirih 01 ada pedagang mainan dengan gerobaknya yang tengah menjajakan jualannya. Selain itu juga pedagang bubur ayam dan pedagang lontong sayur juga setiap paginya rutin berjualan. Para pembeli yang datang juga berkerumun, banyak di antara mereka yang sudah lama menjadi langganan para PKL.

Di sore harinya, para PKL akan lebih marak di Jalan Kebon Sirih, mayoritas pedagang ialah penjual makanan. Pedagang nasi goreng keliling, Hedi Sudarsono sudah 30 tahun berjualan di Jalan Kebon Sirih. Ia mengungkapkan sudah lima tahun harus berjualan di area tersebut pada sore hari.

“Sudah beberapa tahun lalu saya harus berjualan pada sore hari, kalau siang gak boleh nanti bisa kena gusur sama Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja),” kata Hedi saat tengah menyiapkan tiga bungkus nasi goreng untuk pelanggannya.

Pada sore itu, Hedi menyiapkan nasi goreng kepada pelanggannya begitu lihai, penggorengannya pun terus berbunyi kala ia mengetukkan spatulanya sambil membolak-balikkan nasi. Tak sampai 15 menit memasak, Hedi yang berjualan dengan sandal copot yang dikaitkan dengan peniti, siap menyajikan masakannnya untuk pelanggan setianya. Usianya memang sudah tak muda lagi, setiap harinya ia semangat berjualan untuk mendorong gerobaknya dari Kemayoran menuju Jalan Kebon Sirih.

Setiap harinya ia dapat meraup keuntungan hingga Rp 200 ribu, padahal jika ia dapat berjualan menjelang siang hari keuntungan yang didapatnya akan lebih banyak. Sementara di sore hari, ia hanya mengharapkan para pelanggannya yang tengah lembur kerja.

Hedi yang turut berjualan mie rebus tidak berjualan nomaden, seperti pedagang gerobak lainnya. Ia hanya mangkal persis di depan gerbang DPRD provinsi DKI Jakarta. Dengan memasak di tempat tersebut, nasi dan bahan makan lainnya kerap berantakan di sekitar gerobaknya. Untuk itu ia harus memberikan uang iuran kebersihan setiap hari sebesar Rp 5 ribu.

Para penjual makanan di jalan trotoar ibu Kota banyak diminati para pekerja yang berada di sekelilingnya. Kebanyakan dari para pedagang juga laris manis dan bisa pulang dengan gerobak ringan karena makanan telah habis diburu para pembeli. Tak dapat dielakkan para PKL masih menjadi pilihan nomor satu dibandingkan restoran lain di sekelilingnya.

Di sisi lain, pada siang hari terlihat pedagang es doger yang tengah bermain kucing-kucingan dengan Satpol PP. Sesekali, Rahmat Hidayat harus mendelik ke ujung jalan untuk dapat mengantisipasi razia dadakan. Ia pun mengaku tak berani berjualan di pagi hari, ia baru bisa berkeliaran di sepanjang Jalan Medan Merdeka Selatan pada pukul 02.00 siang.

Awalnya Rahmat memulai berjualan di Stasiun Gambir, dan pada waktu siang menjelang sore ia pun baru berani berjualan mengelilingi jalan trotoar sekeliling Monumen Nasional (Monas). Dengan larangan berjualan di beberapa tempat, Rahmat mengungkapkan tak banyak omset yang bisa ia peroleh setiap harinya.

“Saya merasa kesulitan sekali untuk dapat mengambil untung dengan tempat yang terbatas. Terkadang kalau ada razia besar saya juga gak berani jualan di pinggir jalan sini (Jalan Medan Merdeka Selatan), tapi kadang-kadang saya suka dapet info sih dari orang dalem, jadi saya bisa siap-siap gak jualan area sini,” ujar pedagang es doger yang telah berjualan selaman 20 tahun ini.

Pemprov DKI memang memiliki inovasi terbaru untuk mengumpulkan para PKL menjadi satu kesatuan. PKL ditata rapih hingga tak bercecer di jalan, mereka mendapat pelatihan untuk menjadi para pedagang yang dapat terampil untuk berwirausaha.

Pada Jumat (22/5) lalu, Basuki baru saja meresmikan Lenggang Jakarta sebagai tempat lokasi binaan para PKL Monas. Lokbin tersebut nantinya, dapat menjadi tempat percontohan untuk menciptakan lokbin lainnya.  Tampilan Lenggang Jakarta memang begitu identik dengan suasana betawi, para pedagang tertata dengan rapih dan lebih tertib.

Akan tetapi, lokbin tersebut menghilangkan predikat PKL yang terkenal dengan harga dagangan yang ramah di kantong. Harga makanan Lenggang Jakarta rata-rata berkisaran antara Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu. Kocek yang dikeluarkan terlalu besar untuk para pembeli dari kalangan menengah ke bawah.

Harga tersebut bisa serupa dengan harga makanan di mol-mol. Dengan harga yang mahal, memang Basuki memastikan makanan yang dijual bebas dari komposisi makanan yang berbahaya. Setiap penjual makanan sudah terjamin kualitasnya karena berada di bawah naungan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

PKL binaan menjual barang dagangan juga tak seperti PKL di jalan, untuk masalah pembayaran juga dikenakan sistem elektronik. Pembayaran dilakukan menggunakan kartu yang bekerja sama dengan salah satu bank swasta. Para PKL binaan memang terus dibina dengan baik agar nantinya dapat berwira usaha mandiri di mol besar.

Dengan konsep lokbin dari Pemprov DKI, tidak semua PKL dapat tertampung, hanya pedagang yang beruntung lah dan yang telah lama bertahan mendapat kesempatan masuk dalam lokbin. Dengan pelatihan yang berkelas tinggi, mungkin sebutan para PKL sudah tak pantas lagi disematkan dengan para pedagang yang masuk lokbin.

Kendati demikian, kehadiran PKL liar di jalan pastinya masih dirindukan oleh para pembeli setianya. Masyarakat tetap ingin memiliki kemudahan membeli barang dagangan dan tentunya dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement