REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menginginkan setiap kementerian dan lembaga dapat memperbaiki sistem whistlebowing yang benar-benar menjamin identitas dan keamanan pihak pelapor.
"Dengan dikeluarkannya Inpres No 7 Tahun 2015, khusus mengenai pelaksanaan whistle blowing system (WBS), LPSK berharap setiap kementerian dan lembaga dapat memperbaiki WBS masing-masing," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Kamis (28/5).
Menurut dia, perbaikan WBS masing-masing kementerian dapat ditunjukkan dengan menerima dan melaksanakan pengungkapan kasus yang dilaporkan secara sungguh-sungguh.
Ia memaparkan, WBS sendiri dimaksudkan untuk mendorong pegawai atau masyarakat, agar dapat memberikan laporan apabila mengetahui adanya pelanggaran atau tindak pidana korupsi di lingkungan kementerian dan instansi pemerintah lainnya.
"Dengan WBS, pelapor memperoleh jaminan kerahasiaan identitas dan keamanan," katanya.
Abdul Haris menjelaskan, amanat Instruksi Presiden No 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, LPSK mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab aksi peningkatan efektivitas WBS.
Selain itu, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), LPSK turut berperan dalam optimalisasi pelaksanaan WBS dan jaminan perlindungan bagi pelapor atau whistleblower yang terintegrasi di kementerian/lembaga.
Sebelumnya, LPSK mengemukakan bahwa bentuk dan jenis ancaman yang dilakukan terhadap saksi dan korban dari suatu kasus hukum kini semakin berkembang dan tidak hanya sebatas ancaman fisik.
"Ada perkembangan mengenai bentuk dan jenis ancaman terhadap saksi dan atau korban, di mana tidak lagi hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga mutasi ke tempat kerja yang jauh dan ancaman untuk tidak memberikan hak-hak," kata Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani.
Menurut Lies, hal tersebut terkadang tidak hanya ditujukan kepada saksi atau korban secara langsung, melainkan juga kepada pihak keluarga saksi dan atau korban yang akan memberikan kesaksian dalam suatu tindak pidana.