Kamis 28 May 2015 01:52 WIB

Tergantung pada Impor Minyak, Indonesia Lakukan Kemunduran

Red:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan komisaris utama Pertamina, Sugiharto mengaku sepakat dengan mayoritas masyarakat yang menyatakan Petral-PES Singapura melakukan pembelian minyak mentah sebagai anak cucu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab domainnya adalah bisnis to bisnis, sehingga tidak perlu presiden yang membubarkannya.

"Terlalu jauh jika presiden ikut turun tangan membubarkan cucu perusahaan BUMN," ujarnya di Jakarta, Rabu (27/5).

Menurutnya, saat ini merupakan sebuah kemunduran bagi bangsa Indonesia yang menjadi negara tergantung impor. Minyak yang diproduksi dan dipergunakan hanya 40 persennya, artinya negara ini akan tergantung pada impor.

"Di Singapura ada 26 trading arm dari seluruh perusahan di dunia. Ini karena Singapura terbukti memiliki komparatif dan keunggulan tersendiri. Bahkan 13 persen suplai minyak dunia diperdagangankan lewat pasar Singapura," tambahnya.

Pembubaran Petral menurutnya sebuah langkah mundur. Pada saat Petral didirikan, itu melalui sebuah kajian yang sangat mendalam dan ingin membebaskan pertamina dari risiko legal.

"Seperti kasus Karaha Bodas, harta dan aset pertamina yang ada di luar negeri mau dibekukan. Kalau Pertamina bertransaksi langsung kepada trading arm, refinery atau NOC, bisa saja semua aset Pertamina di luar negeri dibekukan," jelasnya.

Efisiensi tidak melihat dari sisi Petral saja, karena Petral sesungguhnya hanya purchasing agen. Selama lima tahun menjabat, ia tidak melihat ada usulan dari direksi agar Petral dibubarkan. 

"Saya tidak melihat ada usulan dari direksi agar Petral dibubarkan. sama sekali tidak ada, apalagi sampai ke presiden RI saat itu," tegasnya.

Sebelumnya dalam satu diskusi terbuka di kawasan Cikini, Jakarta, Sudirman Said mengakui adanya upaya kuat dari lingkungan di luar Pertamina yang berupaya menggagalkan upaya pembubaran Petral sejak lama.

Dikatakannya, di masa pemerintahan Presiden SBY, kerap kali upaya pembenahan mafia migas ini hanya berhenti di meja kerja presiden.

"Itulah sebabnya ketika saya diundang oleh Presiden sehari sebelum ditunjuk sebagai Menteri. Beliau bertanya banyak hal termasuk soal mafia. Saya jawab, pak sebetulnya dahulu banyak kegiatan inisiatif baik dari Pertamina namun selesai di sini. Di mana? Di kantor Presiden, karena Presiden tidak mendukung," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement