Sabtu 16 May 2015 19:53 WIB

Adakah Hari Libur untuk Para Pesapon di Jakarta?

Rep: C11/ Red: Ilham
Tukang Sapu
Tukang Sapu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 10 orang tukang sapu atau pesapon wanita diminta untuk pindah ke Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Sungai Bambu, Tanjung Priuk, Jakarta Utara saat peresmian taman pada pekan ini. Di sana ada banyak sampah yang harus mereka bersihkan.

Banyak warga yang seenaknya membuang sampah sembarangan. Padahal, tempat pembuangan sampah telah tersedia dan tak jauh dari sekeliling taman. Karenanya, para wanita paruh baya itu terus berjibaku di taman yang dengan cepat kotor kembali.

Adalah Kasti Andirani yang mengaku pekerjaan membersihkan jalan dan taman menjadi bagian terpenting dari hidupnya. Meskipun pemerintah tak banyak memperhatikan nasib mereka, tapi hanya menyapulah modal untuk meneruskan hidup.

Pekan ini, para pekerja di ibu kota memang memiliki banyak waktu luang bersama keluarga. Selain libur nasional, mereka juga diuntungkan dengan hari libur tambahan karena kebetulan ada hari yang berada di antara hari libur, 'hari kejepit'. Namun, apakah ada hari libur untuk para pesapon?

 

“Kalau kita milih sehari libur dalam satu bulan, ya karena pas lagi enggak enak badan saja. Terus nanti gaji kita akan dipotong,” keluh Kasti usai peresmian RPTRA Sungai Bambu beberapa hari lalu.

Hal yang sama juga dikeluhkan Meri Yanti yang sudah bekerja selama empat tahun sebagai penyapu jalan. Sehari-hari ia bekerja untuk membiayai kehidupan keluarga dan biaya sekolah anak-anaknya. Meri merasa kesulitan untuk dapat meluangkan waktu untuk anak dan keluarganya. Jika harus bersama, maka dia harus merelakan gajinya dipotong. Termasuk jika ada keperluan sekolah buah hatinya.

Kini, mereka merindukan kebijakan baru dari pemerintah. Jika tidak ingin berkata hak, setidaknya ada sehari libur dalam satu bulan. Jika hak memang tak ada, setidaknya ada tempat dimana mereka melihat anak-anaknya bermain dalam pagi dan terik.

Menjadi penyapon memang pilihan, karena tidak ada yang memaksakan mereka. Karena itu, pemerintah mematok waktu kerja 8 jam sehari bagi mereka. Dalam kurun waktu itu, mereka akan berjibaku dengan potongan sampah sejak pagi-pagi sekali. Waktu jeda ditentukan dari jam 10.00 pagi hingga jam 13.00. Mereka akan sampai rumah ketika hari telah gelap.

Meri mengatakan, mereka pernah dijanjikan uang makan siang Rp 15 ribu setiap hari. Namun, dana yang katanya turun pada Januari lalu tak pernah disebutkan lagi. Harapan itu hilang, dan para penyapon sudah terbiasa merogoh kantong sendiri untuk dapat makan siang.

Harapan lain muncul dari Satinem, pesapon yang sudah setia selama 10 tahun bekerja sebagai Pekerja Harian Lepas (PHL). Kini ia berharap untuk dapat diangkat sebagai pekerja tetap, setidaknya nasibnya bisa lebih jelas.

“Kebanyakan para tukang sapu jalan lain keluar karena sakit, kalau sudah keluar mah yasudah begitu saja, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Ya minimal pesangonlah kita dapat kalau nanti sudah enggak kerja lagi,” kata Satinem.

Para penyapu jalan perempuan ini berharap pemerintah dapat memperhatikan keadaan mereka. Sebab, banyak hak-hak mereka yang kerap kali terabaikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement