REPUBLIKA.CO.ID, PANGALENGAN -- Retakan tanah yang ada di lereng Gunung Bedil, kampung Cibitung, Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, sudah ada sejak dua tahun yang lalu, tepatnya pada 2013 lalu.
Administratur PT Perkebunan Nusantara VIII, Iwan Muliawansyah, menjelaskan, retakan tersebut sudah dilaporkannya kepada beberapa pihak terkait, seperti dari pihak Desa Margamukti ke BNPB, dan Badan Geologi. "Dari sana keluar rekomendasi, nah ini ada beberapa hal yang ditangani tapi makin ke sini retakannya makin besar," ujar Iwan saat dihubungi, Rabu (6/5).
Lanjut dia, kajian terhadap retakan tersebut pun sudah dilakukan dari dua tahun yang lalu. "Kemudian ditindaklanjuti hingga tahun ini. Tapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan," kata dia.
Dua pekan terakhir, kata dia, retakan itu makin terasa gerakannya. Sehingga, ada rekomendasi untuk membuat tiang panjang yang di bawah pipa panas bumi yang dikelola PT Star Energy, hingga 15 meter. "Ini sudah dilakukan, tapi masih bergerak, 15 meter saja itu masih bergerak," ujar dia.
Dalam kondisi itu, sepekan yang lalu, pihaknya melakukan evakuasi karyawan PTPN VIII dan masyarakat yang ada di dekat retakan. "Namun ada beberapa karyawan dan masyarakat yang tinggal di sana. Sampai H-1 itu ada yang tidak mau untuk pindah," ujar dia.
Memang, ia menyadari, beberapa masyarakat di sana ada kepentingan, seperti mengurus peternakan dan pertaniannya. "Jadi ada 15 KK dari 52 KK di situ yang dievakuasi, sisanya itu tidak mau di antaranya karena mereka punya kepentingan, terutama punya tani dan ternak di sana," kata dia.
Hal demikian pun diamini Hendrawan, Kepala Bidang Kedaruratan dan logistik BPBD Kabupaten Bandung. Menurut dia, dua tahun lalu pihaknya sudah mengetahui adanya retakan tanah di lereng Gunung Bedil itu.
Karena itu, pihaknya saat itu juga sudah meminta Badan Geologi untuk menelaah retakan tersebut. Selain dengannya, BPBD Kabupaten Bandung juga sudah memberitahukan kepada PTPN VIII dan PT Star Energy selaku pengelola pipa panas bumi yang berada di lereng-lereng Gunung Bedil.
Namun, diakuinya, retakan pada dua tahun lalu itu masih terbilang kecil sehingga masih memungkinkan masyarakat untuk tetap tinggal di situ. "Dalam beberapa pekan terakhir, retakannya ternyata makin parah," kata dia.
Sehingga, kata dia, Badan Geologi pun mulai melakukan kajian terhadap retakan tersebut dalam beberapa bulan terakhir. Namun, belum kelar kajiannya, bencana telah terjadi.
Menurut Hendrawan, Kementerian BUMN juga perlu turun tangan mengatasi persoalan bencana yang terjadi di lokasi longsor tersebut. Sebab, menurut dia, tanah di situ adalah aset pemerintah dan dikelola oleh BUMN, dalam hal ini PTPN VIII.
Dengan begitu, ia berharap, ada kepastian mengenai aman atau tidaknya lokasi lahan yang telah terjadi longsor itu.