REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo. Dia diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) tahun 1999.
Bekas Dirjen Pajak Kementerian Keuangan itu tiba di gedung KPK dengan mengenakan jas hitam dan kopiah hitam. Tak ada satu pun kata terlontar dari Hadi saat wartawan bertanya. Dia kemudian bergegas menuju lobi gedung lembaga antikorupsi itu.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha membenarkan, Hadi diperiksa sebagai tersangka dalam dugaan permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan BCA tahun 1999 saat dirinya menjabat sebagai Dirjen Pajak.
"Iya, HP (Hadi Poernomo) diperiksa sebagai tersangka," kata dia saat dikonfirmasi, Selasa (5/5).
Dia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2002-2004. Pemeriksaan kali ini merupakan yang kedua kalinya setelah pada Kamis (23/4) dia memenuhi panggilan KPK.
Hadi telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 21 April 2014 dan telah dipanggil tiga kali untuk diperiksa sebagai tersangka namun tak pernah memenuhinya. Pada panggilan pertama, Kamis (5/3), dia tak memenuhi panggilan tanpa alasan yang jelas.
Kemudian pada pemanggilan kedua, Kamis (12/3) atau tujuh hari setelah pemanggilan pertama, dia beralasan sakit mendadak. Dan di pemanggilan ketiga, Hadi tak hadir dengan alasan sedang mengajukan gugatan praperadilan yang kini telah dicabutnya sendiri.
Hadi ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan jabatannya sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2002-2004. Ia diduga mengubah keputusan sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 375 miliar.
Dia diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terkait permohonan keberatan BCA selaku wajib pajak pada 1999. Hadi juga diduga menyalahi prosedur dengan menerima surat permohonan keberatan pajak BCA.
Akibat perbuatannya, KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.