Kamis 30 Apr 2015 15:15 WIB

Mendagri Minta Pemprov Ubah Qanun Bendera dan Lambang Aceh

Bendera Aceh yang dipermasalahkan pemerintah pusat.
Foto: Antara
Bendera Aceh yang dipermasalahkan pemerintah pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta Pemerintah Provinsi dan DPR Aceh segera mengubah Qanun (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh karena permintaan kewenangan pemerintah daerah setempat telah dipenuhi Pusat.

"Saat ini belum (diubah), itu harus disesuaikan nanti perubahan itu harus dari usulan daerah," kata Tjahjo di kantor Wakil Presiden Jakarta, Kamis (30/4).

Perubahan Qanun tersebut merupakan konsekuensi atas kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan Pemda Aceh terkait pelimpahan kewenangan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

"Kita sudah clear semua, tidak ada masalah. Kami tetap berpegang pada MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki tetap menjadi kewenangan, menyamakan kesepahaman dengan PP turunannya," kata Mendagri.

Dua peraturan terkait kewenangan pertanahan dan pengelolaan migas, lanjut Tjahjo, sudah mencapai kesepakatan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. "Kami sudah jelaskan, semua sudah teken. Sudah kami putuskan Perpres dan PP-nya dan sudah dibahas. Kaitan dengan migas juga sudah tidak ada masalah," jelasnya.

Rapat koordinasi antara Pusat dan pemerintah daerah Aceh dilakukan di Kantor Wakil Presiden dengan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wali Nangroe Aceh Malik Mahmud, Plt Dirjen Otonomi Daerah Susilo dan Dirjen Keuangan Daerah Reydonnizar Moenek.

Mendagri mengatakan dalam rapat tersebut hanya membahas mengenai penjelasan lebih rinci dari Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh.

Pembahasan PP sebagai turunan UU Aceh terjalin cukup alot sejak UU tersebut disahkan sembilan tahun lalu, sehingga berakibat munculnya Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh yang mengubah logo bendera menyerupai lambang gerakan separatis.

Polemik terkait bendera Aceh muncul setelah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan penggunaan lambang bulan sabit dan bintang sebagai bendera daerah pada 25 Maret. Peraturan tersebut tertuang dalam Qanun (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Sejumlah lambang pada bendera tersebut disinyalir menyerupai simbol-simbol yang pernah digunakan oleh kelompok separatisme GAM, yang pada 15 Agustus 2005 telah melakukan penandatanganan nota kesepakatan damai Perjanjian Helsinki dengan Pemerintah Indonesia.

Pada dasarnya, Pemerintah tidak melarang penggunaan bendera daerah sebagai bentuk karakter tradisi lokal, hanya penggunaan lambang dan simbol dalam bendera tersebut tidak boleh mengindikasikan gerakan separatisme dari NKRI.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement