REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengatakan, sejak tahun 2013, terdapat perubahan pola pendanaan untuk jaringan terorisme. Pada rentang tahun 2011-2012 model pendanaan itu dari person ke person. Pun jumlah uang yang dikirimkan terbilang kecil, yakni kisaran Rp 100-200 ribu.
"Paling banyak Rp 2 juta lah. Dari berbagai tempat di Indonesia kepada orang pengumpul. Lalu si pengumpul ini nariknya via ATM karena menghindari petugas bank," ujar Agus Santoso saat dihubungi Republika Online, Jumat (27/3).
Berbeda halnya dengan rentang tahun 2013—2014. Agus melanjutkan, selama dua tahun belakangan, pola pendanaan terorisme mulai mengincar ranah bisnis. Dengan begitu, kata Agus, seolah-olah jaringan terduga teroris ini punya bisnis.
"Dengan model MLM (multi level marketing), jualan buku, jualan obat herbal. Kemudian mereka, yang paling terakhir saya lihat itu, mereka buat toko kimia. Nah, ini omzetnya sampai Rp 7 miliar," ungkap dia.
Karenanya, Agus menyatakan, model pendanaan berbasis transaksi dagang zat-zat kimia ini mencemaskan. Sebab, zat kimia tertentu bisa saja diolah jadi bahan peledak berbahaya.
"Kami mengimbau pihak-pihak terkait untuk benar-benar mengawasi. Sekarang kan, bisa beli dalam jumlah besar, bisa jual dalam jumlah besar. Nah ini mesti ada yang mengawasi," kata dia.
Agus menampik pemberitaan bahwa ada dana sebesar Rp 7 miliar dari jaringan terduga teroris Australia ke jaringan terduga teroris Indonesia. Namun, Agus mengakui kerja sama bilateral antarkedua negara sudah terjalin lama.
PPATK Indonesia, kata Agus, bekerja sama dengan lembaga sejenis dari Australia sejak tahun lalu. Kerja sama ini untuk mengungkap jaringan supporting pendanaan terorisme dari Australia ke Indonesia, atau sebaliknya.
"Kita berhasil mengungkap itu. Ada terduga jaringan teroris Australia mengirim uang ke terduga jaringan teroris Indonesia. Jumlahnya sangat besar lah," ucap Agus. Dia mengaku, tidak bisa mempublikasi nominalnya karena alasan keamanan.
Agus menegaskan, terkait dana dari wilayah Australia ini, PPATK sudah melaporkannya ke pihak berwajib sejak akhir tahun lalu. Namun, Agus tidak bisa memastikan apakah jaringan yang didanai terkait ISIS.
"Itu nanti urusan Densus lah. Saya hanya tahu, aliran dana dari kelompok yang oleh Australia dianggap radikal ke kelompok Indonesia yang nama-namanya selama ini di Densus 88," ujarnya.