Kamis 26 Mar 2015 00:05 WIB

Seriuskah DPRD DKI Gunakan Hak Angket?

Rep: Andi Nur Aminah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi (tengah) bersama Wakil Ketua Muhammad Taufik (kiri), Triwisaksana (kanan) memimpin rapat paripurna di Jakarta, Kamis (26/2).
Foto: Antara/Vitalis Yogi Trisna
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi (tengah) bersama Wakil Ketua Muhammad Taufik (kiri), Triwisaksana (kanan) memimpin rapat paripurna di Jakarta, Kamis (26/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mengaku  kecewa dengan  keputusan  anggota panitia khusus (pansus)  Hak Angket DPRD DKI Jakarta karena tidak menghadirkan  Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias  Ahok untuk dimintai keterangannya.  

"Ini bisa menimbulkan banyak persepsi negatif di masyarakat. Apakah DPRD benar serius atau hanya sekedar bermain dengan motif lain,’’ ujar Syamsuddin Alimsyah, Rabu (25/3)..

Syamsuddin menjelaskan penggunaan hak angket  berbeda dengan hak interplasi. Derajatnyapun tidak sama. Ia mengatakan, jika hak interplasi masih bisa diwakilkan kepada pejabat lain untuk hadir di DPRD, namun hak angket harus dihadiri langsung oleh pejabat bersangkutan yang diduga memiliki peran atas penyimpangan yang diduga selama ini.  

Proses pemberian keterangannyapun harus diambil di bawah sumpah.  Ia menjelaskan, karena keputusannya bisa berimplikasi pada hukum.

Hak angket itu adalah hak  penyelidikan oleh DPRD yang keputusannya bisa saja melahirkan rekomendasi untuk penegakan hukum. Itulah sebabnya menjadi penting semua pihak yang diduga mengetahui dan memiliki peran atas kasus yang diselidiki harus dimintai keterangan terkecuali yang bersangkutan menolak.

"Tapi dalam hak angket kali ini menjadi aneh kalau  benar Ahok tidak dihadirkan.  Apalagi Ahok sendiri lebih awal sudah membuat pernyataan menantang siap hadir. Ada apa sebenarnya?,’’ ujar Syamsuddin.

Menurut Syamsuddin  kehadiran Ahok dalam Pansus DPRD menjadi sangat penting untuk mengklarifikasi  berbagai kasus yang dituduhkan selama ini.  Termasuk  dugaan pengiriman "dokumen APBD palsu’’ alias bukan produk  persetujuan DPRD yang dikirim kepada Kemendagri untuk dievaluasi.

"Bila benar yang diserahkan Pemprov  kepada Kemendagri itu ternyata dokumen yang bukan hasil paripurna DPRD bisa fatal akibatnya. Ini produk institusi resmi yang diatur dalam konstitusi. DPRD itu bagian dariu unsur pemerintahan daerah yang diamanatkan untuk membahas RAPBD,’’ ujarnya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement