REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Gerhana matahari total, Jumat (20/3), tidak signifikan memicu peningkatan aktivitas vulkanik maupun pergerakan lempeng bumi Indonesia. Itu karena kejadiannya jauh yaitu di wilayah Eropa bagian utara, Eropa dan sebagian Afrika Utara.
"Di wilayah Indonesia fenomena alam itu tidak akan terlihat. Kita pun tak akan terlalu terdampak, kecuali gerhana itu dikaitkan dengan peningkatan aktivitas vulkanik maupun pergerakan lempeng bumi, sehingga menimbulkan gempa bumi dan gunung api meletus," kata Kepala Stasiun Geofisika BMKG, Kupang, Sudaryono, di Kupang, Jumat (20/3).
Apakah peningkatan status dari normal ke waspada terhadap gunung api Lewotobi Perempuan di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur karena dipicu oleh gerhana matahari itu, Sudaryono mengatakan ada dampaknya namun sangat kecil, karena wilayah Flores umumnya merupakan daerah gunung api yang sesewaktu dapat meletus.
"Jadi tidak perlu khawatir dengan dampak dari gerhana matahari itu, karena dampaknya melalui gempa bumi dan peningkatan aktivitas kegempaan gunung api kecil, meskipun untuk kasus di gunung api Lewotobi Perempuan, perlu diwaspadai," katanya.
Ia mengatakan gerhana matahari sebagian ini juga cukup langka. Peristiwa sejenis terjadi pada 1999.
Gerhana langka ini juga istimewa sebab diselimuti supermoon yang berwarna merah atau dikenal bulan merah darah (blood moon).
"Ada yang meyakini ramalan bulan darah menjadi penanda dunia akan segera berakhir. Merujuk pada kalender astronomi, antara rentang Oktober tahun lalu hingga Oktober tahun ini, akan ada gerhana matahari yang diikuti empat penampakan bulan merah darah. Penampakan bulan darah pertama terjadi pada 15 April dan disusul 8 Oktober tahun lalu," katanya.
Setelah gerhana matahari 20 Maret, 4 April akan ada penampakan bulan darah ketiga. Diperkirakan bulan darah terakhir akan terjadi pada 28 September 2015, setelah terjadi gerhana matahari pada 13 September 2015.