Sabtu 14 Mar 2015 09:36 WIB

Perda Perlindungan Penyandang Disabilitas Masih Diam di Atas Kertas

Rep: neni ridarineni/ Red: Winda Destiana Putri
disabilitas (ilustrasi)
Foto: www.langitperempuan.com
disabilitas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Implementasi Perda nomor 4 tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan penyandang disabilitas masih diam diatas kertas.

Mayoritas gedung pemerintah tidak aksesibel dan jaminan kesehatan khusus belum banyak dimiliki dan diketahui oleh para penyandang difabel.

"Sekitar 90 persen bangunan pemerintah yang ada di provinsi maupun kabupaten/kota tidak aksesibel," kata Pendamping dari SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel ) Moh. Syamsudin pada saat Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil Yogyakarta beraudiensi dan menyerahkan Rekomendasi hasil Konferensi 'Masyarakat Sipil dan Penguatan Demokrasi Inklusif' yang diselenggarakan 21-23 Februari, ke DPRD DIY, Jumat (13/3).   

Menurut Syamsudin, Jamsus (jaminan khusus kesehatan) untuk difabel sampai sekarang belum jelas pelaksanaan. SK Jamsus sudah ada tetapi pendataannya tidak melibatkan difabel, melainkan hanya diserahkan kepada TKS (Tenaga Kesejahteraan Sosial) yang satu kecamatan hanya ada satu orang. Sehingga tidak semua difabel mendapatkan kartu Jamsus. Kalaupun ada kartu yang diberikan seringkali salah alamat, misalnya Desa Bokoharjo, Kecamatan Kalasan. Padahal seharusnya Kecamatan Prambanan.  

Sementara itu Hendro Sugiyono Wibowo yang juga dari SIGAB mengatakan sampai saat ini difabel tidak pernah diundang dalam musrembang (Musyawarah Rencana Pembangunan) baik di Provinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga Musrembang tidak pernah mengakomodir hak-hak difabel.

Selanjutnya Valentina Sriwijiyati dari Organisasi Satu Nama mengatakan konferensi masyarakat Sipil melibatkan 130 orang perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) antara lain dari: SIGAB, MIndonesia Court Monitoring (ICM) Satunama, Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (MAKARYO), Narasita, LBH Yogyakarta, Yayasan LKiS.  

Inti dari rekomendasi OMS ada empat hal: pertama, pemerintah meningkatkan partisipasi masyarakat sipil Yogyakarta terutama kelompok rentan, baik dalam proses politik dan perencanaan anggaran. Karena terkait kebijakan anggaran hak warga terutama kelompok rentan atas akses, partisipasi, kontrol dan manfaat anggaran belum dipenuhi dengan optimal.

Kedua, Hadirnya negara dalam hal ini pemerintah DIY untuk menjadi penengah dan pelindung terwujudnya saling toleransi mengingat data tahun lalu diperkirakan sudah ada 18 kasus kekerasan di DIY yang sebagian besar akarnya intoleransi. Ketiga, negara (Pemerintah Pusat dan Daerah) bersama parlemen menjalankan mandat konstitusi dengan pro aktif melindungi rakyat dengan menolak kriminalisasi terhadap rakyat dan pimpinan serta kelembagaan KPK. Selanjutnya, pemerintah dan parlemen proaktif melakukan revisi kebijakan (daerah dan pusat) yang berpotensi mengkriminalisasi Rakyat. Keempat, pemerintah berpihak dalam isu masyarakat sipil dan kelompok rentan melalui pembuatan dan implementasi kebijakan. Mereka hanya ditemui oleh salah seorang anggota Komisi A DPRD DIY Agus Sumartono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement