REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengkritik penambahan kewenangan terhadap Kantor Staf Kepresidenan yang dipimpin Luhut Binsar Panjaitan. Menurut dia, penambahan tersebut dapat menyebabkan munculnya koordinasi yang berlebihan dan dapat menimbulkan kesimpangsiuran dalam koordinasi pemerintahan.
Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Haryadi menilai, kritikan JK tersebut merupakan bentuk kerisauan dan antisipasi agar tidak ada tumpang tindih dalam tugas dan fungsi pengawasan.
"Fungsi pengawasan itu juga di-delivery presiden ke wapres. Jadi wapres itu salah satu tugas fungsinya mengawasi kinerja kabinet. Sementara kantor kepresidenan juga melakukan hal yang kurang lebih sama. Itu berarti kewenangan wapres dikurangi dengan keberadaan kantor staf kepresidenan ini atau sebenernya berbagi kerja," kata Haryadi kepada Republika, Kamis (5/3).
Menurut Haryadi, yang ia tangkap dari pernyataan Jokowi adalah JK harus berbagi kerja dengan kantor kepresidenan. Hal tersebut, lanjutnya, dikarenakan tidak mungkin semua fungsi pengawasan dilakukan oleh wapres seorang diri.
Karena pembagian kerja yang berimpitan itu lah, lanjut Haryadi, masing-masing lembaga pengawasan perlu bersinergi. "Sinergi itu yang perlu dilihat tidak boleh ada tumpang tindih dalam fungsi pengawasan itu. Itu harus dipastikan. Kalau ada tumpang tindih, wah problemnya bisa sangat besar," ujarnya.
Dia menambahkan, kritik yang disampaikan JK tersebut bukan berarti wapres dan presiden berselisih paham. Menurutnya, JK pasti mengerti bahwa kedudukannya dalam konstitusi adalah pembantu presiden.
"Karena dalam konstitusi kita memang mengatakan otoritas itu ada di presiden dan wapres posisinya pembantu presiden. Tidak ada deskripsi keharusan untuk membagi kewenangan, nggak ada. Sepenuhnya hanya membantu," jelas Haryadi.