Ahad 01 Mar 2015 08:19 WIB

Pemda Harus Ajukan Tambahan Elpiji 3 Kg

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Bayu Hermawan
Gas ukuran 3 kg alias gas melon.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Gas ukuran 3 kg alias gas melon.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Bandung-Sumedang meminta pemerintah daerah untuk segera mengajukan tambahan kuota gas elpiji tabung 3 Kg ke Pertama. Hal tersebut karena kelangkaan elpiji tabung 'melon' masih terus terjadi di wilayah Bandung-Sumedang.

"Kami sudah minta Pemda untuk mengajukan kembali extra droping (penambahan kuota) ke Pertamina. Khususnya untuk tanggal 28 februari ," ujar Ketua Hiswana Migas Bandung-Sumedang, Indra Hutabarat.

Menurutnya daerah yang mengalami gejolak elpiji 3Kg dapat mengajukan penambahan pasokan. Pertamina, akan melakukan ekstra droping 50 persen dari pasokan harian. Ia mengatakan pihaknya telah minta Pemda di wilayahnya untuk mengajukan penambahan kuota dari alokasi harian sebanyak 225.000 tabung pada 28 Februari.

"Kami akan terus melakukan pengecekan ke lapangan soal perkembangan stok dan harga elpiji 3Kg," katanya.

Indra juga meminta, masyarakat berperan dalam pengawasan elpiji 3Kg tersebuy. Masyarakat dapat melaporkan jika menemukan harga elpiji yang dinilai kurang wajar kepada Hiswana Migas.

"Kami punya layanan khusus untuk menampung laporan dari masyarakat jika ada yang mempermainkan harga," ucapnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Unpas, Acuviarta Kartabi menilai banyak faktor yang menimbulkan elpiji 3kg menjadi langka dan mahal.  Pertama, kata dia, permintaan elpiji 3Kg meroket akibat migrasi pengguna elpiji 12Kg ke elpiji 3Kg.

Hal ini karena perbedaan harga dua jenis elpiji tersebut yang terlalu jauh. Harga Eceran Tertinggi (HET) elpiji 3Kg Rp16.000/tabung sedangkan harga gas elpiji 12Kg dibandrol Rp129.000 per tabung.

Kedua, isu rencana kenaikan HET 3Kg membuat agen dan eceran melakukan spekulasi. Mereka memilih untuk menimbun menunggu pemerintah menetapkan HET baru. Ketiga, menurut Acu, pengawasan alur distribusi elpiji 3Kg sangat lemah.

Padahal, elpiji ukuran kecil ini tergolong barang bersubsidi yang harus tersalurkan secara tepat sasaran kepada masyarakat kecil.

Pertamina, menurut Acu, terkesan lepas tangan saat terjadi kelangkaan. BUMN ini beralasan hanya punya wewenang hingga tingkat pangkalan. Diduga, pengawasan yang kurang serius terjadi ini karena elpiji 3Kg dianggap komoditi bisnis yang kurang menjanjikan.

Pemerintah daerah juga, kata dia, dinilai tidak mampu melakukan pendataan jumlah pengguna elpiji di wilayahnya. Data yang kurang akurat membuat pengajuan penambahan kuota kepada Pertamina menjadi lemah.

"Pertamina dan Pemerintah tidak becus melakukan pengawasan terhadap elpiji 3Kg," katanya.

Selain itu, Acu juga berharap masyarakat langsung membeli elpiji 3Kg ke tingkat pangkalan atau SPBU. Hal ini agar harga jualnya sesuai dengan yang ditetapkan Pertamina dan pemerintah.

Masyarakat juga diminta peduli dengan perkembangan harga elpiji 3Kg. Jika terjadi lonjakan harga yang tidak wajar, segera laporkan melalui call center Pertamina atau ke pemerintah daerahnya masing-masing.

Acu menilai melonjaknya harga elpiji 3Kg sangat berbahaya karena akan mendorong laju inflasi yang berujung pelemahan daya beli masyarakat. Daya beli lemah ini akan menurunkan tingkat konsumsi. Padahal, konsumsi masyarakat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Meski harga elpiji 3Kg melambung, masyarakat hanya bisa pasrah. Sebab, masyarakat tidak punya barang subtitusi atau alternatif dari elpiji.

"Masyarakat tidak punya alternatif elpiji. Minyak tanah sulit didapat dan harganya lebih mahal, sedangkan kayu bakar jumlahnya sangat terbatas," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement