REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana desa dinilai berpotensi memunculkan konflik. Dana sebesar Rp 1,4 miliar yang masuk ke kas desa, diprediksi akan memicu konflik horizontal di masyarakat.
"Jika institusi penyanggah di desa tidak tertata, bisa kisruh karena dana pusat di samping masuk ke kas desa tapi juga masuk ke kelompok masyarakat, kelompok petani, nelayan, dan ormas-ormas tingkat desa," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (14/2).
Viva mengatakan, dana yang cukup besar tersebut akan membuat perebutan jabatan kepala desa semakin ketat. Konflik horizontal yang diselipi isu SARA pun, lanjutnya, sangat rawan terjadi dalam pemilihan kepala desa.
"Karena dalam Pilkades itu perbedaan agama, suku, adat lebih tinggi dibanding Pilpres. Kalau pengalokasian tidak adil, diskriminatif hanya pada kelompoknya akan menimbulkan konflik horizontal yang sangat berbahaya," jelasnya.
Yoga mengatakan untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, pengawasan yang ketat sangat dibutuhkan. Ia percaya, selain pengawasan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), masyarakat juga akan ikut mengawasi penggunaan dana tersebut.
"Saya yakin masyarakat desa tidak bodoh ya. Mereka pasti akan memonitor, mengawasi," ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Didik J Rachbini mengatakan, selain adanya potensi konflik, dana desa juga berpotensi untuk dimanfaatkan oleh oknum tertentu. "Kemungkinan korupsi juga besar," ujar Didik.
Pendapat senada disampaikan pengamat politik Populi Center, Nico Harjanto. Menurutnya, dana Rp 1,4 miliar tersebut bisa menjadi sumber konflik baru. Bukan hanya konflik horizontal, tapi juga vertikal. "Nanti ada desa yang merasa kurang, ada yang sudah lebih maju dan kelebihan," ujar Nico.