REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuding Mahkamah Agung enggan mengemban amanat untuk menangani sengketa pilkada.
Ia menilai ketidakmampuan hakim karena perkara reguler yang relatif banyak serta jumlah hakim yang tak mencukupi bukanlah alasan.
"Kalau alasannya karena ketidakmampuan hakim, saya rasa tidak, karena hakim di daerah cukup. Kalau alasannya ketakutan akan kerusuhan sehingga mengorbankan kantor pengadilan, juga tidak, karena selama ini hanya tiga atau empat (daerah), jangan sampailah (ada kerusuhan)," tuturnya, Kamis (12/2).
Bahkan Mendagri menilai sebenarnya hakim-hakim MA di daerah memiliki kompetensi untuk menangani sengketa pilkada. Namun, karena keenggannan mengemban amanat tersebut maka banyak yang mengaku tidak lolos uji coba seleksi hakim pilkada.
"Misalnya, tempo hari MA sudah uji coba, ada tes khusus, yang katanya hanya satu orang yang lolos. Itu tidak mungkin, yang lain pasti sengaja tidak meloloskan diri karena takut seperti pengalaman MK dulu," ujarnya.
Juru Bicara MA Suhadi mengatakan telah meminta kepada DPR supaya mengembalikan mandat penyelesaian sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MA beralasan para hakimnya sudah terbebani dengan perkara reguler, baik perdata maupun pidana, yang dalam satu tahun bisa mencapai 14 ribu perkara.
Sehingga dikhawatirkan akan terjadi penumpukan perkara jika hakim-hakim harus menangani juga sengketa hasil pilkada.