REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Muzzakir menilai proses penetapan tersangka yang selama ini dilakukan KPK, dapat dikatakan melanggar HAM.
Menurutnya hal ini karena KPK lebih mengutamakan penetapan tersangka pada seseorang dibanding mencari alat bukti terlebih dahulu dalam suatu kasus.
Muzzakir menyatakan selama ini KPK menetapkan tersangka lebih dahulu baru kemudian mencari alat bukti. Hal ini, kata dia, melanggar aturan yang ada di dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Kalau di KUHAP itu kumpulkan alat bukti dahulu, kalau sudah kuat baru dijadikan tersangka," ujarnya, Senin (2/2)
Ia menjelaskan selama ini KPK selalu menghadirkan alat bukti di pengadilan. Menurut pendapat dia logikanya orang dia jadikan tersangka dulu baru kemudian dicar cari alat buktinya.
"Ini menurut saya bisa merusak citra seseorang dan termasuk melanggar HAM," katanya.
Ia mencontohkan beberapa kasus di KPK terdapat jeda lama antara proses penetapan tersangka dengan proses peradilannya.
Semisal kasus Anas Urbaningrum, kata dia, proses peradilannya baru terjadi dua tahun setelah dia ditetapkan sebagai tersangka.
"Kasihan orang selama dua tahun citranya tersandera karena status tersangkanya," ucapnya.
Dia menyebutkan KPK saat ini berbeda jika dibandingkan dengan saat periode awal lembaga ini berdiri.
Muzzakir menyebutkan, KPK diperiode awal berdiri lebih dulu mencari alat bukti baru kemudian menetapkan status tersangka pada seseorang. Jadi, menurutnya unsur penghormatan di sisi HAM masih ada tidak seperti sekarang.