REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah melaksanakan hukuman eksekusi mati bagi para terpidana kasus narkoba. Presiden Jokowi pun telah menolak sejumlah permohonan grasi terpidana mati kasus tersebut.
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, memberikan dukungannya terhadap pemerintah yang tegas menolak permohanan grasi terhadap para pengedar narkoba.
"Kita beri masukan, selama ini pemerintah melakukan penolakan grasi terhadap pengedar narkoba, eksekusi mati itu saya dukung," kata Said Aqil usai menemui wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jumat (30/1).
Lanjutnya, ia menegaskan PBNU akan selalu mendukung kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Namun, menurutnya PBNU juga turut memberikan rekomendasi jika kebijakan yang diputuskan pemerintah tak sesuai dengan harapan rakyat.
"Barangkali ada kebijakan-kebijakan yang kurang pas dengan harapan rakyat ya kita beri masukan, bukan oposisi tapi kita rekomendasikan," jelasnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi menolak 64 permohonan grasi terpidana mati kasus narkoba. Menurutnya, penolakan permohonan grasi ini dilakukan untuk memberikan efek jera terhadap para pengedar narkoba.
Sementara itu, pada awal tahun 2015 ini Kejaksaan Agung telah mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkoba. Lima diantaranya merupakan warga negara asing yakni Marco Archer Cardoso Moreira (warga Brasil), Tran Thi Bich Hanh (warga Vietnam), Namaona Denis (warga Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (warga Nigeria), serta Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (warga Belanda).
Sedangkan, WNI yang dieksekusi yakni Rani Andriani alias Melisa Aprilia. Presiden Jokowi juga telah menolak permohonan grasi dua terpidana mati kasus 'Bali Nine', yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.