REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Promotor dan inovator teknologi Sarang Laba-laba Kris Suyantfpondasi ramah gempa sehingga dapat digunakan untuk konstruksi bangunan di daerah rawan gempa untuk mencegah keruntuhan.
"Teknologi Sarang Laba-laba itu, kalau ada goncangan, bergeser 'dia' (fasi dengan penerapan Sarang laba-laba) tidak dilawan makanya saya katakan ramah gempa," kata pengembang dari penemuan itu di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan teknologi itu mencegah bangunan runtuh saat gempa yang mengakibatkan korban jiwa sehingga bangunan tidak runtuh menimpa orang di dalamnya.
"Risiko yang terjadi adalah miring, risiko yang terjadi adalah turun serentak tetapi tidak akan menimbulkan korban jiwa karena tidak ada keruntuhan," ujar dia.
Ia mengatakan fondasi ramah gempa itu ditemukan pertama kali oleh Riyantori dan Sutjipto dari Institut Teknologi 10 September Surabaya pada 1976, yang kemudian temuan itu dia kembangkan dari 1980 hingga 2000 dan mewujudkannya bersama akademisi lainnya.
"Teknologi ini sangat tepat bagi daerah rawan gempa. Ekonomis karena penggunaan beton minim, dan padat karya karena tidak menggunakan alat mekanik berlebihan," katanya.
Kemudian, ia memutuskan mengambil alih penelitian fondasi Sarang Laba-laba. Ia juga membangun perusahaannya sendiri bernama PT Katama Suryabumi dan menjadi promotor pengembangan dari teknologi tersebut.
Pada 1980-an, katanya, belum ada teknologi yang mampu menguji kebenaran kekuatan fondasi itu, kemudian kekuatan fondasi itu terbukti saat musibah gempa Aceh, yang mana bangunan-bangunan di Aceh yang menerapkan fsi Sarang Laba-laba itu tetap kokoh.
"Karena 'dia' (fondasi dengan teknologi Sarang Laba-laba) dalam satu kesatuan setapak gedung, kalau ada gempa dia tidak bergoyang melawan tetapi bergerak bareng-bareng, itu menunjukkan Sarang Laba-laba teruji aman dari risiko gempa," katanya.
Teknologi yang dipatenkan pada 2004 dengan nama Perbaikan Konstruksi Sarang Laba-laba itu, katanya, terdiri atas plat beton yang diperkaku dengan grip-grip beton, yang disusun dan disambung berbentuk segitiga. Kemudian, rongga di antara grip-grip itu diisi tanah yang dipadatkan yang menjadi kekuatan fondasi itu sendiri.
"Rongganya diisi tanah yang dipadatkan dan ditutup plat dengan komposisi 15 persen beton dan 85 persen tanah," tuturnya.
Ia mengatakan kelebihan teknologi itu adalah dengan volume 30 centimeter, fondasi itu mampu mempunyai kekuatan setara dengan cor beton satu meter.
"Volume sedikit, kekuatan besar. Lebih ekonomis. Karena kekakuannya yang besar, saat ada gempa besar, ia akan berlaku seperti kapal di atas ombak, fleksibel," ujarnya.
Kris mengatakan sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar penerapan teknologi itu berhasil antara lain tidak boleh diterapkan pada bangunan di atas delapan lantai, fondasinya tidak boleh ramping harus lebar serta tanah yang sangat lunak harus diperbaiki sebelum dibuat pondasi dengan teknologi itu.