REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengkritik langkah yang ditempuh Presiden Joko Widodo dalam memberhentikan Jenderal Polisi Sutarman dan mengangkat Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri. Sebab, kata dia jika Presiden ingin memberhentikan dan mengangkat Kapolri harus terlebih dahulu meminta persetujuan DPR.
“Mestinya Presiden dan DPR tahu bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket bukan dipisah Sebab baik pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri dua2nya harus dg persetujuan DPR,” kata Yusril melalui akun twitter pribadinya @Yusrilihza_Mhd , Sabtu (17/1)
Mantan Menteri Hukum dan Ham ini kemudian menyebutkan bisa saja Jokowi memberhentikan Kapolri dan kemudian mengangkat penggantinya tanpa persetujuan DPR. Namun, hal itu lanjut dia dapat dilakukan hanya karena alasan-alasan mendesak.
Pernyataan Yusril ini merujuk kepada UU No 2 Tahun 2002 tentang Kapolri pasal 11 yang mengatur pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Pada pasal 11 itu disebutkan pada poin ke lima yaitu “Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dengan tidak adanya persetujuan yang diminta Jokowi kepada DPR untuk mengangkat Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri, Yusril jadi mempertanyakan alasan-alasan apa yang membuat Presiden tergesa-gesa melakukan pergantian Kapolri.
“Alasan mendesak itu hanya dua, yakni jika Kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara. Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah jabatan atau melakukan makar sebelum diberhentikan Presiden? Saya tidak tahu,” ujar Yusril.