REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Indonesia belum siap menerima bonus demografi karena tidak memenuhi prasyarat. Bonus demografi merupakan potensi dari ledakan penduduk yang terjadi di sebuah negara.
Hal tersebut diungkapkan Sonny Harry Budiutomo, Ketua Umum Koalisi Kependudukan dalam diskusi ‘Situasi Kependudukan Indonesia’ di Ruang Serba Guna Perpustakaan ITB, Bandung pada Rabu (14/1). “Indonesia termasuk dalam negara dengan penduduk terbesar di dunia,” katanya.
Menurut dia, Indonesia sebenarnya memiliki celah untuk masuk dalam bonus demografi. Namun, kata Sonny, Indonesia belum siap untuk memperoleh bonus tersebut. “Banyak hal prasyarat yang tidak dipenuhi oleh Indonesia,” ucapnya.
Ada beberapa prasyarat bonus demografi sebuah negara seperti, kualitas penduduk, ketersediaan lapangan kerja berkualitas, dan memiliki akses tabungan. Di Indonesia, kata dia, hanya 37 persen penduduk yang menyimpan uang di bank.
Bonus demografi seharusnya disiapkan harus sedini mungkin. “Seperti Korea, mereka sudah merencanakan akan menghasilkan berapa sarjana di beberapa perguran tinggi,” papar Sonny..
Dia mengatakan, kuantitas penduduk pun berdampak pada kualitas penduduk. Dari hasil sensus yang diperolehnya, di daerah yang penduduknya relatif berimbang etnis dan agamanya, maka cenderung memiliki potensi konflik yang besar.
Selain itu, tingkat persaingan pun menjadi tinggi. “Ada tekanan pada penduduk kita yang menciptakan perilaku yang tidak baik,” ujar Sonny.
Ada dua hal yang membuat negara memiliki nilai bonus demografi, yakni konsumsi dan produksi. Indonesia sendiri, lebih cenderung pada konsumsi dibandingkan produksi. Contohnya pada konsumsi beras.
Menurut Sonny, rakyat Indonesia membutuhkan 36 juta ton beras per tahun. Indonesia bisa memproduksi 39 juta ton beras per tahun. “Seharusnya hal tersebut bisa memenuhi kebutuhan rakyat,” katanya.
Panita diskusi dari Common Room Foundation, Pitra Moeis, mengatakan, ada hal yang harus dibenahi dalam demografi Indonesia. Menurutnya, perubahan bukan hanya dari pemerintah tapi juga dari masyarakat.
Masyarakat harus memiliki keinginan untuk maju dan tidak bergantung pada pemerintah saja. “Pada zaman Suharto kita tidak ada pilihan. Tapi, sekarang sudah bisa membuat pilihan sendiri,” katanya.