Rabu 07 Jan 2015 18:15 WIB

Pengamat : Pemilihan Hakim Konstitusi Perlu Diatur UU

Rep: C07/ Red: Bayu Hermawan
Suasa Gedung MK
Foto: ANTARA
Suasa Gedung MK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti pada Divisi Kajian Hukum Tata Negara SIGMA, M. Imam Nasef mengatakan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi ke depannya perlu diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Imam menjelaskan, saat ini ketentuan mengenai hal itu diatur secara internal oleh masing-masing lembaga yang mengajukan yaitu Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diamanatkan Pasal 20 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Namun dalam prakteknya, indikasi peraturan internal yanv dimaksud baik berupa Perpres, Perma, maupun Peraturan DPR tidak pernah dibuat oleh ketiga lembaga tersebut. Sehingga seringkali prosesnya menimbulkan kontroversi di masyarakat, seperti yang terjadi pada seleksi hakim konstitusi oleh Presiden dan MA beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan ada empat alasan penting mengapa tata cara seleksi hakim konstitusi perlu diatur dalam UU MK. Pertama, adalah untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam proses seleksi hakim konstitusi.

"Adanya kepastian hukum itu tidak hanya dapat meminimalisir potensi terjadinya polemik di masyarakat, tetapi juga dapat memberikan jaminan kepada para calon hakim kontsitusi untuk diperlakukan secara adil dalam proses seleksi," jelasnya, Rabu (7/1).

Kedua, lanjut Nasef, agar ada keseragaman mengenai tata cara seleksi hakim konstitusi. Menurutnya akan aneh ketika kualifikasi seorang hakim konstitusi itu sama, tetapi mekanisme seleksinya berbeda.

"Seleksi itu kan salah satu tujuannya untuk menguji apakah calon-calon hakim konstitusi memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam UU MK atau tidak. Nah, mengingat syarat-syarat yang ditentukan itu sama, maka idealnya tata cara seleksi di ketiga lembaga pengusul itupun seragam," katanya.

Ketiga, walaupun pemilihan hakim konstitusi itu menjadi hak prerogatif Presiden, MA, dan DPR, akan tetapi sebagai penyelenggara negara, ketiga lembaga tersebut wajib tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, seperti transparansi, profesionalitas, partisipasi, dan akuntabilitas.

Hal tersebut dilakukan untuk memastikan terpenuhinya asas-asas itu, sehingga ada baiknya tata cara seleksi hakim konstitusi secara operasional diatur dalam level UU. Keempat, untuk meningkatkan legitimasi publik terhadap calon hakim konstitusi terpilih.

Menurut Nasef, legitimasi publik itu penting, sebab berkorelasi dengan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi MK.

"Semakin tinggi legitimasinya, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan publik ke MK. Legitimasi itu akan meningkat apabila proses seleksinya mengindahkan asas-asas umum pemerintahan yang baik," jelasnya.

Adapun saat ini telah terpilih dua orang hakim konstitusi yaitu I Dewa Gede Palguna yang diajukan Presiden dan Suhartoyo yang diajukan MA. Proses seleksi kedua hakim konstitusi terpilih itu sempat menuai kontroversi, terutama Suhartoyo karena proses seleksi di MA terkesan sangat eksklusif.

"Selain juga karena Suhartoyo masih dalam proses penyelidikan dugaan pelanggaran kode etik oleh Komisi Yudisial (KY)," kata dia.

Sehingga publik sangat menyayangkan ditandatanganinya Keppres pengangkatan Suhartoyo oleh Presiden Jokowi, sebab berpotensi menimbulkan masalah setelah dilantik. Kondisi demikian tentunya tidak akan terjadi kalau sejak awal ketentuan mengenai tata cara seleksinya diatur lebih jelas dalam UU MK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement