REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden RI ke-enam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menulis kisah peristiwa tsunami Aceh yang terjadi 10 tahun lalu. Melalui akun Facebook miliknya, ia membagi tulisan karya Dino Patti Djalal dalam buku Harus Bisa dengan judul 'Dalam Krisis, Pemimpin Harus Selalu Berada di Depan'. Berikut kisahnya:
Pagi itu, tanggal 26 Desember 2004, satu hari setelah Natal, bermula sebagai hari yang biasa. Di, Nabire, Papua, rakyat sedang siap-siap melepas Presiden SBY dan Ibu Ani, yang semalam sebelumnya tidur di tenda setelah memberi bantuan kepada para korban gempa bumi. Di Pantai Meulaboh, Aceh, sejumlah orang tua membawa anak-anaknya bermain di pantai disiram sinar matahari yang lembut. Di Jayapura, Pemda dan rakyat sedang mempersiapkan perayaan Natal malam itu bersama Presiden SBY, yang akan menampilkan penyanyi cilik Papua yang menakjubkan.
Saya sendiri akan selalu teringat hari itu karena pesawat yang saya tumpangi bersama tim aju Paspampres sempat menukik sampai 2 meter di atas permukaan laut – saya bahkan sempat mengucapkan takbir karena yakin pesawat akan jatuh, yang untungnya tidak terjadi karena kemudian pesawat kembali mengudara.
Setibanya di Jayapura, saya segera bergabung dengan rombongan Presiden di kediaman Gubernur. Waktu itu, mulai terdengar berita samar-samar mengenai gempa di Aceh. Staf Presiden umumnya merasa bahwa gempa di Aceh tidak seserius gempa Nabire yang parah. Namun Presiden SBY tidak mau berasumsi tanpa dasar dan meminta agar berita ini di cek dan ricek terus. Beliau terus mendapat laporan dari Wapres, selain dari Kapolri dan Panglima TNI. Saya mulai merasa ada yang agak aneh karena informasi yang datang dari Aceh sangat minim (baru kemudian diketahui bahwa hal ini dikarenakan sistem komunikasi di Aceh lumpuh total).
Tidak lama setelah itu, berita yang masuk berubah: setelah gempa, ada ‘banjir besar’ di Aceh, dan setelah itu berubah lagi, ada ‘tsunami.’ Saya mencatat dua hal: 1] informasi masuk setetes demi setetes namun kualitasnya tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya, dan lebih banyak bersifat perkiraan, dan 2] setiap ada informasi baru, selalu lebih buruk dari informasi yang sebelumnya. Sama sekali tidak ada berita baik yang masuk mengenai Aceh.
Malam itu, Presiden tetap hadir dalam acara Natal di Jayapura yang sudah lama dipersiapkan, namun acara dipersingkat, dan atas permintaan Presiden, dimulai dengan mengheningkan cipta dan berdoa bagi para korban di Aceh.
Saya mengamati raut muka Presiden SBY dan kelihatan sekali bahwa benak SBY sangat didominasi oleh bencana di ujung barat Indonesia. Saya yakin SBY pasti frustasi dengan kegelapan informasi (information blackout) yang menyelimuti Aceh.
Isu yang paling menonjol hari itu adalah apa yang harus segera dilakukan Presiden. Ada dua pendapat yang timbul. Pendapat pertama, di mana saya termasuk di dalamnya, adalah bahwa Presiden sebaiknya pulang dulu ke Jakarta, dan jangan ke Aceh. Pertimbangannya bermacam-macam:
• Kondisi korban dan kerusakan di Aceh masih belum jelas;
• Khawatir kedatangan rombongan Presiden akan merepotkan petugas di lapangan;
• Masih belum diketahui apakah ada bandar udara di Aceh dimana pesawat Presiden dapat mendarat;
• Secara politis dan psikologis, akan sulit apabila Presiden mendarat di Aceh sementara bantuan darurat kemanusiaan Pemerintah Pusat belum tiba di Aceh;
• Kedatangan di Jakarta bisa membeli waktu untuk mempersiapkan kunjungan Presiden ke Aceh yang lebih matang.
Dalam suasana yang serba tidak menentu itu, Presiden SBY segera mengambil keputusan: “Ini keadaan yang serius, dan bisa menjadi krisis nasional, oleh karena itu saya harus segera ke depan!”
Presiden segera menugaskan Sekretaris Militer untuk mengatur penerbangan dari Jayapura ke Aceh. Malam itu juga, Presiden menggelar rapat Kabinet darurat di kediaman Gubernur Papua. Jujurnya, malam itu saya masih bertanya dalam hati apakah kepergian Presiden ke Aceh merupakan keputusan yang tepat.
Keesokan paginya, Presiden berangkat meninggalkan Jayapura. Karena pesawatnya kecil, sementara jarak yang harus ditempuh cukup jauh, pesawat Presiden berkali-kali melakukan transit untuk pengisian bahan bakar, di Makasar dan di Batam, sebelum mendarat di Lhokseumawe.
Dalam setiap transit, berita yang masuk semakin memburuk. Angka kematian yang semalam sebelumnya sekitar 60, hari itu naik menjadi ‘seratusan’, ‘ratusan’, dan bahkan ‘ribuan.’ Setiap jam semakin terkuak bahwa ini adalah malapetaka yang maha dahsyat. Saya teringat sewaktu transit di bandara, Presiden sempat menyendiri memeluk dan menenangkan Ibu Ani yang tak kuasa menahan tangis.
Sorenya, Presiden SBY dan Ibu Ani tiba di Lhokseumawe. Di Bandara Lhokseumawe Presiden langsung meminta laporan dari pimpinan Provinsi di antaranya Gubernur, Pangdam, dan Kapolda. Di tempat itulah saya lihat pertama kali Presiden mengeluarkan instruksi yang bersifat operasional untuk melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya upaya penyelamatan jiwa penduduk, perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan. Tampaknya nalurinya sebagai seorang jenderal mendorongnya mengeluarkan perintah-perintah cepat itu. Semalaman beliau tidak tidur merencanakan strategi dan aksi penanganan bencana yang luar biasa ini.
Keesokan harinya, Presiden SBY tiba di Banda Aceh dan menjadi lebih “shock” melihat kondisi yang sebenarnya di lapangan. Dalam paparan di bandar udara Iskandar Muda oleh Kapolda Bahrumsyah dan Pangdam Endang Suwarya, beliau diberitahu bahwa fungsi pemerintahan praktis tidak berfungsi, karena banyak pejabat daerah yang meninggal atau hilang, kantor-kantor runtuh, sementara jaringan komunikasi – telepon, termasuk telepon genggam – terputus. Sementara itu, kapasitas anggota TNI dan Polri juga terbatas, karena banyak anggota yang juga tewas dan hilang dari sebagian besar perlengkapan – mobil, motor, truk – musnah.
Hari itu, Presiden mengelilingi Banda Aceh, mengunjungi Masjid Baiturrahman, melihat rumah sakit yang penuh dengan pasien, memandang ribuan rumah dan gedung yang hancur, menyaksikan tumpukan mayat yang mulai membusuk.
Beliau juga mengatur rapat di kantor Gubernur, di mana beliau mendapat laporan, dalam suasana yang sangat emosional, mengenai apa yang hancur, apa yang masih tersisa, dan apa yang segera dibutuhkan rakyat Aceh. Tidak ada yang berani memperkirakan jumlah korban yang meninggal karena setiap perkiraan pasti akan dihapus oleh berita-berita buruk berikutnya yang tak kunjung habis.
Perjalanan hari itu membuat saya merasa bagaikan hidup di dunia yang tidak nyata, dunia alam mimpi yang menakutkan. Di suatu tempat yang dikunjungi, saya harus selalu melihat ke bawah sewaktu melangkah karena takut menginjak mayat-mayat yang ditutup koran.
Disinilah terbukti bahwa, keputusan Presiden SBY untuk segera ‘maju ke depan,’ dan tiba di Aceh pada hari ke dua setelah tsunami adalah keputusan yang tepat dan sangat strategis bagi proses pembuatan kebijakan pemerintah setelahnya.
Pertama, SBY dapat melihat sendiri skala kematian dan kerusakan akibat gempa dan tsunami. Beliau melihat sendiri mayat-mayat bergelimpangan di jalan, penderitaan luar biasa ribuan rakyat Aceh yang masih hidup namun kehilangan keluarga dan rumahnya. Beliau melihat sendiri Aceh lumpuh total, dari segi komunikasi, transportasi, listrik, bensin, pelayanan masyarakat, infrastruktur, dan lain sebagainya.
Dengan berada ‘di depan,’ kondisi penderitaan yang luar biasa ini benar-benar masuk ke sukma beliau. Pemahaman seperti ini tidak mungkin didapat beliau kalau hanya membaca laporan tertulis atau mendengar paparan lisan di kantor beliau di Istana.
Kedua, kehadiran Presiden SBY berdampak mengangkat semangat petugas di lapangan yang waktu itu sangat terpukul, baik karena kehilangan keluarganya, kehilangan rekan-rekan mereka, maupun karena mata rantai komando yang tercerai-berai.
Ketiga, walaupun siaran radio, televisi dan telepon lumpuh, kehadiran Presiden penting untuk menunjukkan kepada rakyat Aceh bahwa Pemerintah Pusat memberikan perhatian penuh dan dukungan total untuk membantu mereka keluar dari bencana ini.
Keempat, dan menurut saya yang paling penting, keberadaan SBY di garis ‘depan’ memungkinkan SBY membuat penilaian yang diperlukan untuk menentukan rencana aksi Pemerintah Pusat, terutama operasi tanggap darurat.
Begitu kembali ke Jakarta, Presiden segera menggelar rapat Kabinet darurat dimana SBY dapat memberi instruksi yang tepat, jelas, praktis, dan responsif terhadap kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan TNI dan Polri untuk operasi penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke Meulaboh, dan Hercules ke Banda Aceh, mencari ribuan kantong jenazah; mencari kuburan massal untuk jenazah yang ditemukan; mengirim BBM, makanan dan air bersih; menghidupkan kembali listrik dan jalur telepon; menentukan jumlah tenda yang dibutuhkan untuk pengungsian; mengirim dokter tambahan; mengirim truk dari Medan; dan lain sebagainya. Semua ini adalah keputusan matang yang lahir dari kunjungan Presiden SBY ke Aceh.
Ada satu lagi yang penting: keberadaan SBY di Aceh membawa dampak psikologis yang penting bagi rakyat Indonesia. Krisis tsunami adalah bencana alam terdahsyat dalam sejarah Indonesia dan mungkin salah satu bencana alam terdahsyat dalam sejarah dunia modern.
Dari helikopter, saya melihat sendiri pantai barat Aceh yang terbentang ratusan kilometer menjadi rata dengan tanah, tanpa ada rumah atau manusia yang tersisa. Dalam sekejap, 200.000 kehilangan nyawa, sebagian ditemukan, sebagian ditelan laut. Lima ratus ribu orang lebih menjadi pengungsi. Seluruh bangsa Indonesia – ayah, ibu, tua, muda, kaya, miskin, di kota dan di kampung – menjerit, kebingungan, khawatir dan menangis.
Dalam masa yang galau ini, penting bagi bangsa Indonesia untuk mengetahui bahwa ada sosok yang memimpin mereka dalam kegelapan ini dan melihat sendiri di layar televisi bahwa Presiden mereka sedang berada di depan, di Aceh, hanya sehari setelah terjadinya tsunami.
Saya jadi teringat ucapan SBY beberapa hari setelah dilantik menjadi Presiden: “Dino, kamu nanti bisa lelah mendampingi saya keliling Indonesia. Saya harus melihat langsung kondisi rakyat kita. Apalagi kalau ada persoalan yang berat. Pemimpin itu Din, bisnisnya mengambil keputusan. Kamu pasti pernah mendengar: Quick to see, quick to decide, quick to take action.”
Satu catatan pinggir: saat Presiden SBY berada di Banda Aceh, Amien Rais juga berada di tempat yang sama. Di bandar udara, dalam nada emosi, Amien Rais memberi pernyataan bahwa ia ‘malu’ pada bangsa Indonesia dan pada dunia. Tampaknya, Amien Rais tidak puas dengan operasi penyelamatan waktu itu. Pernyataan Amien Rais itu segera menyebar ke seluruh dunia. Pada waktu itu, Presiden SBY sudah terjun ke lapangan, mengumpulkan Pemda, TNI dan Polri yang tersisa, membangkitkan moril mereka serta memberikan instruksi-instruksi teknis yang menurut SBY, ‘seharusnya dilakukan oleh Bupati dan Camat, yang waktu itu banyak yang sudah tidak berfungsi lagi.’
Saya juga dulu kebetulan pengagum Amien Rais, namun dari satu peristiwa itu ada satu pelajaran penting yang saya petik untuk para pemimpin di masa depan: ada masanya di mana semua pemimpin bangsa harus dapat melupakan ego politiknya dan bahu-membahu bersatu menangani suatu krisis nasional.
Saya langsung ingat bahwa sewaktu Presiden SBY memimpin rapat darurat di pendopo Gubernur Aceh dan memberikan instruksi kepada Menteri, Pelaksana Tugas Gubernur, TNI dan seluruh jajaran Pemda, SBY sempat menanyakan Amien Rais yang duduk di ujung ruang sidang: “Pak Amien, apakah ada komentar, tambahan atau usulan sebelum rapat ini ditutup?” Amien Rais diam, menyatakan ‘tidak ada.’ Karena itulah, komentar Amien Rais di bandar udara sangat mengejutkan kita semua karena beliau justru memilih mengeluarkan kritik pedas di luar melalui media, ketimbang memberi usulan konstruktif dalam rapat bersama seluruh pejabat.
Ada momen-momen tertentu dimana para pemimpin harus memperlihatkan kepada rakyat bahwa mereka kompak dan bersatu. Hal ini memerlukan kebesaran jiwa dan kehati-hatian dalam bertutur kata. Dan saya yakin rakyat Indonesia akan senang apabila melihat para pemimpinnya bersikap seperti itu.
Ditulis oleh
Dino Patti Djalal
(dalam buku 'Harus Bisa')