Jumat 26 Dec 2014 17:02 WIB

Pelaksanaan Hukuman Mati Tersendat, Pakar: Harus Ada Batasan tentang PK

Rep: c 97/ Red: Indah Wulandari
Terpidana mantan Jaksa Urip Tri Gunawan mengikui sidang Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Urip di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/9).(Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Terpidana mantan Jaksa Urip Tri Gunawan mengikui sidang Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Urip di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/9).(Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Peninjauan Kembali (PK) yang berlarut-larut menjadi salah satu penyebab belum terlaksananya hukuman mati.

"Harus ada batasan berapa kali PK boleh diajukan. Jika terus seperti ini akan berakibat pada lamanya proses peradilan di dalam negeri," ungkap pakar hukum pidana Universitas Indonesia Akhiar Salmi, Jumat (26/12).

Ia menyarankan juga agar urusan terkait PK segera diatur dalam Undang-Undang. Serta pentingnya penerapan denda bagi pengajuan PK yang akhirnya ditolak. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak ada lagi pihak yang bermain-main terhadap alat kebijakan hukum tersebut.

"Jangan asal PK. Sebaiknya ada denda yang diberlakukan bagi terdakwa yang PK-nya ditolak," ungkap Akhiar.

Lantaran selama ini, ketidakjelasan batasan PK menjadi dilema tersendiri dalam keberlangsungan hukum di Indonesia. Seharusnya, imbuh Akhiar,Mahkamah Konstitusi segera mengatur hal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement