Selasa 16 Dec 2014 08:35 WIB

Yusril: Presiden Harusnya Cermat Pilih Pansel Calon Hakim Konstitusi

Yusril Ihza Mahendra (tengah).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Yusril Ihza Mahendra (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra berpendapat agar para anggota panitia seleksi (pansel) calon hakim konstitusi tidak berasal dari kalangan pengacara. 

"Saya sependapat, sebaiknya lawyer yg sering berperkara di MK tdk duduk dlm pansel hakim MK," katanya dalam akun twitter pribadinya, Selasa (16/12). 

Ia menilai seharusnya untuk persoalan dan proses pemilihan calon hakim konstitusi menggantikan Hamdan Zoelva yang sebentar lagi selesai masa tugasnya, Presiden harus lebih hati-hati dan cermat.

"Presiden harusnya cermat dan hati2 memilih anggota pansel agar tak menuai kritik," katanya. 

Menurutnya, memang tak ada peraturan yang melarang latar belakang seseorang ditunjuk menjadi salah satu anggota pansel caln hakim konstitusi, tetapi etika pun seharusnya diperhatikan. 

"Scr hkm tdk dilarang. Hanya pertimbangan etis sebaiknya lawyer tdk jd pansel," katanya. 

Sebelumnya, hakim MK bersepakat untuk mengajukan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo terkait dua nama anggota pansel calon hakim konstitusi yakni Refly Harun dan Todung Mulya Lubis. 

Alasannya, kedua tokoh tersebut secara aktif berperkara di MK dan berprofesi sebagai pengacara. Dikhawatirkan, netralitas dan tarik menarik kepentingan akan mempengaruhi proses seleksi. 

"Untuk menjaga objektivitas, kiranya presiden dapat mempertimbangkan kembali keanggotaan kedua nama tersebut," kata Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Ghaffar saat konferensi pers, Jumat (12/12).

Pada awal Desember, Presiden Jokowi telah membentuk Tim Pansel untuk mencari pengganti Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva. Tujuh anggota yang tergabung dalam Tim Pansel tersebut ialah Saldi Isra yang merangkap sebagai ketua, Refli Harun yang juga menjadi sekertaris Pansel, mantan hakim MK Harjono, mantan hakim MK Maruarar Siahaan, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Widodo Eko Tjahjana, dan pakar hukum dari Universitas Indonesia Satya Arinanto. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement