REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menganggap penetapan Pemimpin Redaksi (pemred) The Jakarta Post sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama sebagaimana diatur dalam pasal 156a KUHP, sebagai ancaman yang serius bagi kebebasan pers di Indonesia.
Pemred The Jakarta Post ditetapkan sebagai tersangka karena pemuatan kartun yang mengkritik kelompok negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Berdasarkan penetapan tersebut, YLBHI memandang Polda Metro Jaya terkesan lebih mengikuti kemauan kelompok-kelompok yang cenderung memaksakan kehendaknya.
"Menjadi sesuatu yang kontradiktif, jika The Jakarta Post memuat karikatur tentang ISIS justru di pidanakan dan dianggap melakukan penistaan agama oleh pihak Polda Metro Jaya" kata Moch. Ainul Yaqin, Koordinator Bidang Sipil Politik YLBHI, Ahad (14/12).
Padahal menurutnya, sebagian besar rakyat Indonesia dengan tegas menolak paham ISIS. Paham ISIS yang selalu menerapkan kekerasan dalam kehidupan beragama juga ditolak oleh tokoh-tokoh agama dan Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, menurutnya, pemidanaan terhadap pimred The Jakarta Post menunjukkan adanya kesesatan berpikir dalam tahapan proses pemidanaannya.
Selain itu, kata Moch. Ainul Yaqin, jika dilihat dari sisi etika jurnalistik, mestinya hal terkait kartun tersebut tidak masuk dalam ranah kepolisian. Karena, sebelumnya sudah ditangani oleh Dewan Pers.
Dalam hal ini, lanjut dia, kepolisian kurang menghormati proses yang sudah dilakukan oleh Dewan Pers. Padahal keberadaan lembaga Dewan Pers merupakan amanah dari UU No. 40/1999 Tentang Pers.
Atas hal tersebut, YLBHI mendesak Polda Metro Jaya untuk segera mengevaluasi penetapan tersangka terhadap Pemred The Jakarta Post dan segera menghentikan proses pemidanaannya. Karena jika prosesnya berlanjut,maka hal ini menjadi ancaman yang serius bagi kebebasan pers di Indonesia.