REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Kualitas hidup masyarakat nelayan di Jawa Timur (Jatim) mengalami kemersosotan akibat kenaikan harga BBM. Seperti dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, Senin (1/12), angka Nilai Tukar Nelayan (NTN) Jatim anjlok 4,15 persen, dari 109,44 pada Oktober menjadi 104,90 pada November 2014.
Dilaporkan BPS Jatim, penurunan tersebut disebabkan kenaikan indeks harga yang dibayarkan nelayan lebih tinggi daripada kenaikan indeks harga yang diterima nelayan.
Kepala BPS Jatim Sairi Hasbullah menjelaskan, akibat kenaikan BBM, harga komoditas kebutuhan nelayan meningkat, sementara harga hasil tangkapan nelayan menurun.
Sairi merinci, harga berbagai jenis hasil tangkapan nelayan mengalami penurunan harga. Sepuluh jenis komoditas tangkapan nelayan yang paling tinggi mengalami penurunan harga adalah ikan tongkol, kuniaran, layang, swanggi, kuwe, belanak, manyung, cakalang dan tembang.
“Sementara sepuluh komoditas utama yang mengalami kenaikan indeks harga yang dibayarkan nelayan adalah solar, bensin cabai rawit, tomat sayur, cabai merah, beras, es batu, upah angkut ke TPI, jeruk dan mi instan,” ujar Sairi di Kantor BPS Jatim, Surabaya.
Dihubungi terpisah Ketua DPW Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jatim Misbahul Munir membenarkan, nelayan menjadi slah satu korban terbesar dalam kebijakan kenaikan harga BBM, termasuk di Jawa Timur.
Munir menyampaikan, kebijakan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi mengorbankan nelayan kecil karena tidak menyiapkan kebijakan pengaman.
Munir menggambarkan, bagi nelayan di pulau-pulau terpencil di Jatim, seperti di perairan Madura, harga solar menjadi berlipat ganda pasca kenaikan.
“Di pulau Masalembu, Sapeken, dan lain-lain di Madura, harga solar tidak Rp 8500 tetapi mencapai Rp 11 ribu. Ini jelas sangat merugikan masyarakat nelayan,” ujar Munir.