REPUBLIKA.CO.ID,SANGGAU – Lima pimpinan Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) mengunjungi Pos Perbatasan Lintas Batas (PPLB) Indonesia-Malaysia di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Kedatangan pimpinan MPR untuk menyerap aspirasi masyarakat perbatasan.
Lima pimpinan MPR yang hadir, yakni Ketua MPR Zulkifli Hasan, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Oesman Sapta, Mahyudin, dan EE Mangindaan. Rombongan datang dengan menggunakan 4 helikopter milik TNI.
Kedatangan pimpinan MPR di PPLB Entikong disambut aksi unjik rasa puluhan warga yang mengatasnamakan Dewan Adat Suku Dayak Entikong. Dalam untuk rasa tersebut, mereka menyampaikan tujuh poin memorandum, Isinya antara lain, meminta dibangun pelabuhan darat untuk perdagangan serta kepastian hukum kepabeanan menyangkut masalah ekspor-impor. “Jika memorandum tidak menjadi perhatian serius pemerintah pusat maka masyarakat perbatasan Entikong akan pindah kewarganegaraan, “ kata Koordinator Aksi Nurbertus Pamungkas, Kamis (27/11).
Selain itu, lanjut Nurbertus, pihaknya meminta kepastian hukum masyarakat perbatasan dan memati kepastian penanggung jawab pengelolaan PPLB Entikong. “Apakah oleh pusat dan daerah?” tanya Nurbertus.
Pengawas Dewan Adat Dayak Entikong, Budi menambahkan, warga menuntut kenaikan kuota bebas bea masuk barang dari Malaysia ke Indonesia. Saat ini, barang yang bebas bea masuk maksimal senilai 600 Ringgit Malaysia, diharapkan naik menjadi 2000 Ringgit Malaysia.
Menurut Budi, tidak adanya pos kepabeanan atau pelabuhan darat memicu maraknya penyeludupan barang dari Malaysia ke Indonesia. Terutama, kebutuhan sembilan bahan makanan pokokn (sembako). Pasalnya, lanjut Budi, harga sembako di Malaysia lebih murah ketimbang harga sembako di Indonesia. Namun untuk belanja sembako ke Malaysia juga dibatasi.
Warga Entikong lainnya, Sakin mengungkapkan betapa sulitnya masyarakat Entikong mendapatkan sembako akibat adanya larangan masuk sembako dari Malaysia. “Sembako dilarang dan dipersulit,” ujar Sikin.
Sedangkan, untuk mendapatkan sembako dari dalam negeri harus membeli ke ibu kota Kalimantan Barat, Pontianak. Jarak antara Entikong ke Pontianak bisa mencapai 200 kilometer.
Wakil Ketua MPR Oesman Sapta mengatakan tuntuan warga untuk membangun pelabuhan darat merupakan satu hal yang wajar. Artinya, lanjut Oesman apabila ada perdagangan harus ada pos kepabeanan. “Kenapa? Untuk mengatur lalu lintas perdagangan,” kata Oesman.
Menurut Oesman, aktivitas perdagangan di wilayah perbatasan sangat penting. Oesman berjanji akan membawa aspirasi masyarakat Entikong ke Senayan. “Harusnya nanti ketua MPR dan teman-teman di MPR dan DPR memahami kondisi sekarang di perbatasan.”
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan perlu ada kerjasama seluruh instansi di perbatasan ini untuk memberikan pelayanan satu atap. Sehingga, pelayanan lalu lintas orang dan barang terintegrasi. “Saat ini banyak instansi di perbatasan ini, tapi berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Menurut Zulkifli, penyelesaian persoalan perdagangan seperti tuntutnan warga perbatasan Entikong merupakan satu kesatuan dari pelayanan perbatasan. “Apabila nilai ekspornya sudah semakin besar maka ini harus dipikirkan. Mikirnya untuk 60 tahun mendatang,” kata Zulkifli.
Kedepan, lanjut Zulkifli, harus dirancang pelabuhan darat yang modern dan tidak tradisional lagi. “Nanti kita akan rumuskan dan memberi rekomendasi ke pemerintah,” katanya.
MPR, lanjut dia, akan mengambil tindakan dan melakukan rapat dengan instansi terkait. “Termasuk anggarannya kita akan rapat gabungan, di mana hambatannya? Di situ kita selesaikan,” ujar Zulkifli.
Gubernur Kalimantan Barat Cornelis mengatakan kewenangan untuk membangun pelabuhan darat di perbatasan Entikong merupakan kewenangan pemerintah pusat . “Harapannya pembangunan pelabuhan darat ini segera direalisasikan pemerintah pusat,” ujarnya.