REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keputusan Konsorsium Korea Selatan (Korsel) yang memutuskan untuk menarik proyek senilai sekitar 11 triliun won (Rp 130,7 triliun) untuk membangun rantai pasokan baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia, dinilai menjadi kerugian yang besar bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia dinilai perlu lebih serius dalam menanggapi dan bersikap mengenai polemik persoalan iklim investasi semacam itu.
“Kerugian sangat besar (bagi Indonesia), mengingat investasi yang mereka rencanakan termasuk high quality investment,” kata ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin kepada Republika, Ahad (20/4/2025).
Wijayanto mengatakan, EV merupakan industri yang potensial bagi Indonesia. Hal itu mengingat Indonesia memiliki pasar otomotif dan sumber nikel yang besar. Keputusan Konsorsium Korsel tersebut pun seakan menjadi pukulan telak.
“Sehingga, ia menyebut membangun ekosisten industri EV sangat strategis bagi Indonesia. Sayangnya, kali ini kita akan kalah lagi dari Vietnam dan Thailand,” ungkapnya.
Menurut analisis Wijayanto, penyebab Konsorsium Korsel memutuskan hal tersebut adalah karena dua hal, yakni faktor pasar dan lingkungan investasi. Ia menjelaskan, faktor pasar merupakan variabel global, sedangkan lingkungan investasi adalah variabel domestik. Ia pun menitikberatkan tentang lingkungan investasi yang mesti dievaluasi atas persoalan tersebut.
“Iklim investasi di Indonesia memang masih kurang kondusif, terutama terkait dengan tumpang tindih aturan, praktek premanisme, ketidakpastian hukum dan budaya korupsi yang merajalela,” terangnya.
Kalah langkah
Wijayanto menilai bahwa Indonesia memang kalah langkah, dibandingkan dengan Vietnam misalnya. Ia menerangkan, setelah berhasil membangun ekosistem industri gadget dan ICT, kini Vietnam mulai merambah ke industri EV.
Tetapi ia mengungkapkan, Indonesia masih bisa mengejar ketertinggalan. Sebab, sumber daya nikel dan pasar yang besar menjadi kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia.
“Itu (sumber daya nikel dan pasar yang besar) yang Vietnam tidak punya,” ujar dia.
Oleh sebab itu, sebagai langkah pertama pemerintah, Wijayanto berargumen bahwa pemerintah bisa melakukan negosiasi terhadap Konsorsium Korsel untuk membatalkan keputusan tersebut. Sehingga nilai investasi yang seratusan triliun itu tidak lenyap begitu saja.
“Nego perlu dilakukan, tetapi yang paling penting adalah mencarikan solusi akar permasalahan yang menyebabkan iklim investasi kita buruk,” tegasnya.
Iklim berinvestasi di Indonesia harus dievaluasi secara serius oleh pemerintah. Menurut Wijayanto, situasi investasi yang tidak kondusif terbukti menimbulkan pembatalan bagi pihak yang sebelumnya telah berinvestasi.
“Jika kita tak buru-buru memperbaiki, investasi akan malas masuk Indonesia. Yang belum masuk malas masuk, yang sudah di dalam malas berekspansi atau bahkan mencoba realokasi, yang sudah berkomitmen malas merealisasikan bahkan membatalkan,” jelasnya.
