REPUBLIKA.CO.ID,SUKABUMI—Sejumlah buruh Kabupaten Sukabumi kecewa dengan pernyataan pejabat Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) terkait besaran upah minimum kabupaten (UMK). Pasalnya, pejabat tersebut menilai penetapan UMK Sukabumi dinilai terlalu tinggi dan prosesnya tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Informasi dari Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP-TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi, pejabat yang dimaksud adalah Direktur Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Kemenaker, R Irianto Simbolon yang dikutip oleh sejumlah media nasional.
‘’Pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang ceroboh, tergesa-gesa serta tidak sesuai dengan kondisi dan fakta yang sebenarnya,’’ ujar Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi Moch Popon, Selasa (25/11).
Pernyataan tersebut, lanjut dia, mencerminkan sikap anti perjuangan buruh. Khususnya, keinginan para buruh untuk memperbaiki kehidupannya melalui peningkatan kesejahteraan yang salah satunya melalui perbaikan upah.
‘’Kami menilai penetapan UMK itu masih jauh dari kebutuhan yang harus ditanggung oleh buruh setiap bulannya,’’ terang Popon.
Gubernur Jabar telah menetapkan besaran UMK Kabupaten Sukabumi sebesar Rp 1,940 juta. Terlebih lagi, angka sebesar itu dinilainya sangat kecil apabila dibandingkan kabupaten/kota lain yang besaran upah minimumnya sudah diatas Rp 2 juta per bulan.
Buruh juga lanjut Popon mengkritik pernyataan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menyatakan Kabupaten Sukabumi sebagai daerah tidak layak investasi sebagai dampak penetapan UMK.
"Pernyataan tersebut sangat melukai terhadap upaya yang dilakukan pemerintah daerah, serikat pekerja dan para pengusaha di Sukabumi,’’ imbuh dia.
Popon mengatakan, surat terbuka menanggapi pernyataan pejabat Kemenaker dan Apindo ini disampaikan kepada Presiden Jokowi, kalangan DPR hingga aparat penegak hukum.