REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Penggunaan kalimat seperti “enam agama yang diakui negara” ataupun “enam agama yang diresmikan negara” dalam mengutip UU PNPS tahun 1965 seringkali menimbulkan polemik. Pada 2010 lalu, sejumlah LSM bahkan sempat mengajukan judicial review untuk UU ini karena dinilai hanya berpihak pada enam agama yang “diakui” negara.
Ihwal hal ini, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saiffudin menghimbau siapa pun, khususnya media, agar berhati-hati dalam menggunakan kata “diakui” ataupun “diresmikan” dalam mengutip UU PNPS tahun 1965. Pasalnya, di tengah-tengah masyarakat masih ada pandangan-pandangan yang sangat beragam mengenai perlu atau tidaknya suatu keyakinan diakui dan diresmikan oleh negara.
Dalam UU PNPS tahun 1965 itu sendiri, tidak ada penggunaan kata pengakuan atau peresmian oleh negara terhadap enam agama besar di Indonesia, melainkan menjabarkan enam agama besar tersebut dengan kata “dianut”. Jadi, yang dimaksud dalam UU PNPS 1965 itu bukan enam agama itu yang diakui atau diresmikan oleh negara, tetapi enam agama yang dianut, yang dipeluk oleh mayoritas warga negara Indonesia.
“Jadi, pers harus hati-hati dalam menggunakan kata-kata pengakuan,” terang Lukman pada ROL, Senin (24/11).