Senin 24 Nov 2014 17:29 WIB

Tunjangan tak Kunjung Cair Berpotensi Gratifikasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak juli 2014, potensi gratifikasi di KUA ditutup melalui PP No 48 tahun 2014. Sayang, niat baik untuk mewujudkan pelayanan negara yang bersih dan profesional terhambat urusan tunjangan yang tak kunjung cair.

 

“Bila para petugas KUA tak kunjung mendapatkan tunjangan jasa dan transportasi yang menjadi hak-nya, maka bias membuka pintu gratifikasi dengan berbagai alas an. Sementara mereka sudah bertugas profesional, tidak mengambil kutipan, bahkan menalangi terlebih dulu ongkos perjalanan,” ungkap Wakil Ketua Komisi VIII Ledia Hanifa Amaliah, Senin (14/11).

 

Sejak berlakuknya PP No 48 tahun 2014 tentang  Perubahan Atas PP No 47 tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama, kini biaya pencatatan nikah menjadi Rp 0 alias gratis. Namun, hal itu berlaku selama dilangsungkan di kantor KUA pada hari dan jam kerja.

Sementara pungutan resmi sebesar Rp 600 ribu atas jasa profesi dan transportasi petugas KUA di luar hari dan jam kerja disetorkan langsung ke negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dari setoran ke negara ini, sekitar 80 persen dari total penerimaan akan dikembalikan ke KUA untuk melaksanakan program dan kegiatan bimas Islam dalam rangka pelayanan nikah atau rujuk termasuk di dalamnya pemberian tunjangan jasa profesi dan transportasi kepada petugas pelaksana KUA.

Selama ini, kata Ledia, sebagian besar masyarakat hanya mengetahui KUA sebagai kantor layanan administratif  pernikahan. Padahal, tupoksi mereka luas sekali yaitu melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama kota/kabupaten di bidang urusan agama Islam dan membantu pembangunan pemerintahan umum di bidang agama di tingkat kecamatan.

Sedangkan fungsi tugasnya, mencakup pelayanan nikah, rujuk, penyuluh agama, pelayanan konseling melalui Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4), hingga bersama masyarakat memakmurkan rumah ibadah lewat Badan Kesejahteraan Masjid (BKM).

 

Dengan lingkup tupoksi seluas itu, kata Ledia, satu KUA hanya mendapat anggaran operasional Rp 3 juta per bulan untuk mengkaver seluruh kebutuhan kantor dan pelaksanaan kegiatan. Bila kemudian dana PNBP yang menjadi hak KUA masih saja tertunda karena soal teknis admininistratif di tingkat pusat, maka tentu keseriusan pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang bersih dan profesional patut dipertanyakan.

 

Ledia menambahkan, komisi VIII DPR RI sudah sejak lama mengingatkan pemerintah bahwa selain semangat menutup pintu gratifikasi ditinggikan, semangat mencarikan solusi harus menjadi langkah silmultan.  

“Kementrian Agama harus segera menyelesaikan persoalan lintas sektor dengan Kementrian Keuangan,” katanya. Hal ini agar dana PNBP bagi KUA ini segera turun dan terus turun setiap bulan dengan lancar. Janganlah persoalan kepentingan administratif di tingkat pusat semisal tarik ulur mengenai siapa pemegang kewenangan pengelolaan anggaran menghambat orang mendapatkan hak atas apa yang sudah mereka kerjakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement