REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Joko Widodo melalu Kementerian Agama (Kemenag) menjadikan kasus Ahmadiyah sebagai pertimbangan akan mencabut atau merevisi UU Penodaan Agama. Kemenag menilai Ahmadiyah tidak menodai Islam.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam) Kementerian Agama, Machasin mengatakan dalam UU no 1 tahun 1965 tentang Penodaan Agama, tidak jelas antara kelompok sempalan dan orang yang menodai agama. Seperti misalnya, Ahmadiyah menyebut adanya nabi setelah Nabi Muhammad, sehingga Ahmadiyah dianggap menodai ajaran Islam.
Machasin menganggap umat Ahmadiyah bukan bermaksud menodai Islam, tapi memang begitulah mereka meyakininya. "Dan memakai keyakinan itu untuk mereka sendiri," ungkapnya, Ahad (23/11).
Hal ini sama seperti agama Islam yang meyakini Yesus seorang nabi bukan Tuhan. Sementara Kristen mengatakan Yesus adalah tuhan. Hal tersebut tidak masuk kategori penodaan oleh Islam karena hanya disampaikan untuk kalangan umat Islam sendiri. “Kalaupun Kristen meyakini Yesus sebagai Tuhan, silakan saja karena itu keyakinan mereka,” katanya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini Kemenag saat ini sedang menyiapkan draft undang-undang untuk mengganti UU Penodaan Agama. Menurut Machasin, ada dua poin yang akan direvisi, yakni terkait ketetapan enam agama saja yang disebutkan dalam undang-undang, sementara yang lainnya menjadi terkesan diabaikan. Dampaknya, pelayanan yang adil oleh pemerintah terhadap umat beragama dan berkeyakinan di luar agama yang enam dipertanyakan. Kedua, terkait pembedaan antara kelompok beragama atau keyakinan dengan kelompok sempalan.