REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan Jaksa Agung HM Prasetyo oleh Presiden Joko Widodo dianggap memiliki sejumlah kecacatan.
Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (Lima) mengatakan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) 2005-2006 tersebut dipilih Jokowi dengan tiga kecacatan yang menyertainya.
Pertama, proses pemilihan Jaksa Agung dilakukan dengan cara yang tertutup. Tanpa ada semacam pemberitahuan di awal tentang nama-nama yang dinominasikan oleh Presiden sebagai calon jaksa agung.
"Tiba-tiba masyarakat dikejutkan pada kenyataan bahwa sore hari, tanggal 19 November, Jokowi langsung melantik Prasetyo sebagai Jaksa Agung," ujar Ray dalam pernyataan tertulis kepada media, Jumat (21/11).
Menurutnya, efek cacat pertama itu mengakibatkan cacat yang kedua, yakni proses yang tidak transparan telah mengabaikan partisipasi masyarakat. Sebab, Jokowi sama sekali tidak pernah mengungkapkan siapa saja bakal calon Jaksa Agung.
Sehingga masyarakat tidak membuat semacam penilaian rekam jejak apakah calon-calon yang dimaksud tepat, kredibel, punya keberanian, jujur dan bersih, serta punya prestasi untuk membongkar bobrok dalam tubuh Kejaksaan Agung.
Menurutnya, di era Reformasi saat ini terdapat tiga lembaga yang masih jauh dari harapan pembenahan reformasi yakni birokrasi dan kepolisian, serta institusi kejaksaan. "Bayangan buramnya pembenahan kejaksaan semakin kuat dengan pemilihan Prasetyo sebagai Jaksa Agung," imbuhnya.
Cacat ketiga, lanjutnya, yakni pribadi HM Prasetyo bukanlah figur menonjol di lingkungan kejaksaan. Masa baktinya sebagai Jampidsum dinilai tidak menorehkan prestasi apa pun dan tidak ada kasus besar yang diungkap. Bahkan, pemikiran Prasetyo tentang reformasi kejaksaan juga tidak terdengar.
Selain itu, Prasetyo merupakan kader partai politik. Menurutnya, hal itu seperti menyepelekan semangat Jokowi yang ingin menegakan pemerintahan yang jauh dari tekanan dan kepentingan parpol.
Bahkan, semakin hari Jokowi terlihat semakin dalam masuk ke cengkeraman parpol. Situasi tersebut tidak akan terjadi jika Jokowi mampu menahan diri, dan selalu membentengi diri dengan semangat awal keinginannya menjadi presiden.
"Sayangnya, Jokowi seperti membuka dirinya untuk diintervensi. Itulah yang terlihat dari pembentukan kabinet, dan sekarang Jaksa Agung," katanya.